Apakah Rommel Bisa Menang di Afrika Utara?

Erwin Rommel barangkali ada adalah Jenderal Jerman yang paling terkenal selama Perang Dunia 2. Ia oleh sekutu dianggap Jenderal yang paling brilian, tidak otodoks, dan terutama sekali gentleman selama perang yang brutal itu. Nama Rommel sendiri melejit akibat kampanye yang ia lakukan di Afrika Utara. Ia dengan Deutsche Afrika Korps (DAK) atau Korps Jerman Afrika berhasil menyelamatkan keruntuhan koloni Italia di Libya (paling tidak untuk sementara) dan bahkan berhasil melaju hingga ke Mesir. Memang, pada akhirnya Afrika Korps harus bertekuk lutut kepada sekutu 13 Mei 1943 di Tunisia, dan Rommel sendiri dipindah tugaskan ke Italia serta nanti kemudian di Normandia. Namun, selalu ada pertanyaan menarik di sini, apakah Rommel sebenarnya bisa memenangkan kampanye militer Afrika Utara?

Rommel Bersama Staf DAK di Afrika Utara

Pertama, kita harus tahu latar belakang kampanye Afrika Utara tersebut. Mengapa Hitler tidak membiarkan sekutunya Italia untuk bertempur sendirian di sana? Italia dan Jerman meskipun sama-sama negara fasis totalitarian, namun mereka mempunyai kemampuan industri yang berbeda. Industri Italia tidak sekuat Jerman, karena banyak faktor. Selain itu, program pengembangan militer mereka terbilang sedikit tertinggal dari Jerman. Karena itulah ketika dihadapkan kepada Inggris yang terbilang jauh lebih siap menghadapi perang, kekuatan Italia porak-poranda. Koloni mereka di Ethiopia yang baru mereka rebut tahun 1936 jatuh dengan mudah ke tangan sekutu. Dan sekarang giliran Libya di Afrika Utara. Hitler tentu tidak ingin sekutu menang mudah atas Italia. Karena jika Italia runtuh, maka Jerman boleh dikata sendirian di Eropa.

Panzer Deutsche Afrika Korps (DAK) di Afrika Utara

Kedua, kita juga harus tahu mengapa Rommel sampai kalah di Afrika Utara. Masalah utama yang dihadapi Rommel adalah logistik. Banyak sekali logistik yang dibutuhkan Afrika Korps dan tentara Italia di Afrika Utara tidak sampai di garis depan. Dalam pertempuran modern, logistik adalah nadi utama dari tentara. Sebuah tentara tidak bisa lagi mengandalkan barang jarahan untuk bertahan hidup seperti perang kemerdekaan Amerika ke belakang. Sekarang, sebuah tentara harus benar-benar well supplied, well equip, dan well trained.

Ada dua faktor utama yang menyebabkan logistik tidak sampai di garis depan. Pertama, infrastruktur di Libya bisa dikatakan buruk, dan distribusi logistik terutama dalam perang modern membutuhkan intensitas tinggi  dan butuh perencanaan yang matang. Di satu sisi, Inggris dan Sekutu tidak tanggung-tanggung dalam membuat infrastruktur untuk keperluan logistik pasukannya. Pelabuhan, jalan raya, dan bahkan jalan kereta api baru dibangun dalam waktu singkat. Sedangkan sekutu Jerman, Italia, nampaknya sedikit ogah-ogahan. Mereka berperang tanpa perencanaan yang matang. Nampak sekali organisasi mereka yang kacau seperti pada saat kampanye Yunani.

Kampanye Afrika Utara Rommel

Faktor kendala logistik berikutnya adalah intensenya pengeboman dan blokade angkatan laut Inggris di perairan mediterania. Di mediterania, angkatan laut Italia sebenarnya cukup besar. Namun mereka tidak mempunyai Kapal Induk dan pesawat pembom yang dikususkan untuk operasi di laut. Sebaliknya, kekuatan Inggris yang utama ada pada Angkatan Laut dan Angkatan Udaranya yang terkenal dengan sebutan RAF (Royal Airforce). RAF ini setahun sebelumnya berhasil mengalahkan Luftwaffe di atas langit Inggris yang sampai sekarang terkenal dengan nama Battle of Britain. Dan sekarang, angkatan udara veteran itu siap untuk mengganggu jalur supply pasukan Axis di Afrika Utara.

Salah satu basis penting angkatan udara Inggris berada di pulau Malta. Pulau ini sangat strategis karena berada diantara Sisilia dan Libya. Tepat pada jantung supply pasukan Italia-Jerman di Afrika Utara. Anehnya, Italia tidak mempunyai rencana matang untuk merebut pulau ini terlebih dahulu. Padahal jika Sisilia mampu direbut, ia tidak hanya mampu mengamankan jalur Supply Italia, namun juga mampu mengganggu supremasi angkatan laut Inggris di mediterania.

RAF di Malta

Rommel pernah mengusulkan untuk merebut pulau Malta agar Inggris tidak mampu mengganggu jalur perkapalan Jerman-Italia. Jendral Student, Jendral dari pasukan penerjun Jerman, bahkan sudah menyaguhi untuk memimpin serangan pasukan penerjun ke pulau tersebut. Namun entah kenapa rencan itu mental. Ada kemungkinan Hitler sendiri merasa jeri untuk kembali menggunakan pasukan penerjunnya karena banyaknya korban pada serangan Pulau Kreta di Yunani.

Kembali ke pertanyaan di atas, apakah Rommel bisa memenangkan pertempuran di Afrika Utara?

Sebenarnya jawabannya bisa dan memungkinkan. Inggris saat itu notabene hanya bertempur sendirian, Amerika Serikat yang bergabung dalam perang setelah Pearl Harbour perlu waktu untuk melatih pasukannya. Dan pada kenyataannya mereka baru mampu mengirimkan pasukan pada tahun 1943. Syarat utama adalah jalur supply harus diamankan, karena tanpa supply seperti bahan bakar, pasukan panzer Rommel tidak mampu bergerak kemana-mana. Malta barangkali adalah salah satu faktor penting, dan superioritas udara wajib untuk direbut. Jika keduanya mampu untuk dikuasai, maka angkatan laut Italia juga akan lebih mudah untuk dimaksimalkan, paling tidak untuk perairan sekitar Libya-Sisilia.

Pada saat semua hal diatas telah mampu untuk diamankan. Maka masih ada satu lagi hal yang perlu Rommel pertimbangkan, waktu. Inggris yang nantinya dibantu oleh Amerika mempunyai perkapalan yang baik dan besar. Bala bantuan akan dapat mudah untuk didatangkan baik dari Inggris maupun Amerika Serikat. Montgomery mampu mendatangkan 600+ buah tank ke Afrika tahun 1942. Sebuah jumlah yang cukup besar di waktu itu. Jika kampanye Afrika Utara berlangsung lama, maka jelas Rommel akan kehilangan momentum dan tidak mustahil jika ia akan terpukul mundur kembali. Ia harus mampu dengan cepat merebut tempat-tempat strategis di Afrika utara. Setidaknya terusan Suez dapat diduduki. Jika sudah, siapkan posisi defensif sebaik mungkin dan bersiap untuk menanti kedatangan pasukan raksasa sekutu yang sedang dipersiapkan.

5 Comments

  1. Rommel mungkin bisa menang. Logistik adalah kunci utamanya. Tapi jangan lupakan faktor intelijen. Kemampuan dinas intelijen angkatan bersenjata Jerman (Abwehr) saat itu sebenarnya sudah cukup mumpuni pada zamannya–terutama setelah di uji coba dalam perang saudara Spanyol melalui manuver kolom kelimanya yang mampu menempatkan jenderal Franco sebagai diktator Spanyol. Namun sepertinya dalam kampanye PD II Jerman, Abwehr tidak pernah maksimal beroperasi, atau lebih tepatnya beberapa kali secara sengaja mensabotase ‘dirinya sendiri’. Apalagi melihat rivalitas kepala Abwehr, admiral Cannaris yang selalu berseberangan dengan Hitler dan Himmler membuat Abwehr terlibat perang spionase dengan dengan dinas rahadia SS (Gestapo). Menarik untuk ditunggu apabila agan menurunkan tulisan perihal sepak terjang Abwehr selama PD II dan rivalitasnya dengan Gestapo SS yang sedikit banyak menyebabkan Jerman kalah perang

Leave a Reply to Wahyu Cancel reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.