Beberapa waktu yang lalu, saya membeli buku tulisan Jared Diamond dengan judul “Guns, Germ and Steel.” Buku itu membahas peradaban manusia secara garis besar dan terutama sekali untuk menjawab pertanyaan, mangapa peradaban manusia bisa sangat berbeda satu sama lain. Di satu sisi, ada peradaban yang telah mengenal tulisan, arsitektur megah, dan ilmu pengetahuan jauh sebelum masehi. Namun di sisi lain, ada peradaban yang masih menggunakan metode berburu dan meramu.
Moai di Easter Island, salah satu Monumen Polynesia yang paling besar
Ketimpangan peradaban tersebut begitu kentara bahkan di depan mata kita sendiri. Di Indonesia, ketimpangan kehidupan begitu terasa terjadi antara wilayah barat dibandingkan dengan wilayah timur. Di wilayah barat (terutama di pulau jawa, terutama di sekitar ibu kota) kehidupan modern sudah bukan menjadi barang mewah lagi, sementara di wilayah timur, internet masih menjadi barang langka.
Ketimpangan itu sekarang menjadi masalah yang pelik, namun bukan suatu yang berbahaya. Pernah di suatu masa, ketimpangan semacam itu menjadi masalah hidup dan mati. Bukan bagi orang per orang, namun bagi sebuah bangsa. Ketika Colombus menemukan Amerika, benua tersebut mempunyai peradaban yang jauh berbeda dibandingkan dengan Erorpa. Bukan berarti penduduk asli Amerika tidak mempunyai peradaban yang mumpuni. Dalam hal astronomi dan arsitektur, mereka luar biasa, namun dari sisi peralatan militer, mereka jauh tertinggal.
Eropa dan sebagian bangsa di Timur Tengah pada waktu itu sudah mengenal senjata-senjata mutakhir yang bahkan masih kita gunakan hingga saat ini. Senapan dan meriam versia awal sudah dikembangkan. Dan walaupun senjata ini lambat untuk digunakan, namun ketika orang-orang awal melihat ledakannya, mereka langsung panik dan terpencar. Bagi penduduk asli Amerika, senjata semacam pedang baja, senapan mesiu, meriam kanon, pakaian pelindung dari rantai baja adalah suatu hal yang sama sekali belum pernah mereka lihat sebelumnya. Dan hal tersebut sungguh membuat mereka terperangah.
Keunggulan dalam bidang senjata dan pengetahuan membuat bangsa-bangsa Eropa selama beberapa abad merasa lebih beradab daripada bangsa-bangsa lain di belahan dunia lain. Mental semacam inilah yang memicu adanya penjajahan dari mulai Pegunungan Tinggi Andes hingga hutan belantara Papua. Hal tersebut terjadi hanya karena Eropa mempunyai kesempatan lebih dahulu beberapa ratus tahun untuk lebih mengetahui tentang ilmu pengetahuan. Lalu, bagaimana dengan peradaban yang tepaut ribuan hingga jutaan tahun lamanya.
Hingga sampai saat ini, ilmuwan masih berjuang mati-matian untuk memetakan ribuan planet yang ada di sekitar tata surya kita. Beberapa planet bahkan di klaim mempunyai potensi besar untuk mampu menampung kehidupan. Namun sebagian besar planet lain hanyalah gumpalan gas seperti Jupiter dan Saturnus. Beberapa tata surya mempunyai usia ratusan ataupun milyaran tahun lebih tua daripada tata surya yang kita tinggali.
Apakah planet yang lebih tua daripada bumi dan mendukung untuk mempunyai kehidupan bakal mempunyai makhluk hidup cerdas seperti atau jauh lebih mumpuni daripada bumi? Beberapa ilmuwan mengatakan bahwa, tidak selalu peradaban di planet yang lebih tua umurnya akan mempunyai kesempatan untuk berkembang jauh lebih tinggi. Hal tersebut sama dengan apa yang ada di bumi. Afrika merupakan tempat dimana manusia pertama kali berkembang. Namun, Afrika bukan menjadi pionir dalam peradaban-peradaban besar dunia (kecuali peradaban Mesir – Sungai Nil – yang sebenarnya lebih dekat kepada Bulan Sabit Subur daripada jantung Afrika).
Bumi dan tata surya merupakan salah satu konstelasi muda di alam semesta. Di galaksi ini saja, banyak sekali ditemukan tata surya yang mempunyai usia jauh lebih tua daripada tempat kita berada. Kehidupan yang muncul di planet kita saja tergolong baru. Sebuah hipotesis mengatakan bahwa bahkan di planet tetangga kita seperti Mars, kehidupan pernah muncul bahkan sebelum bumi berkembang.
Di dalam buku “Gun, Germs, and Steel” disebutkan pula jika di daerah Polynisia, peradaban-peradaban berkembang nyaris tanpa campur tangan peradaban lain di belahan dunia lain. Itu karena peradaban tersebut dibatasi oleh laut-laut yang membentang luas dan membatasi interaksi mereka dengan bangsa lain. Mereka membangun peradaban New Zeeland, Hawaii, dan Moai yang cukup hebat bagi ukuran mereka. Namun di belahan dunia lain, perkembangan peradaban sudah jauh meninggalkan masyarakat yang terkurung di kepulauan-kepulauan pasifik tersebut.
Sampai sejauh ini, umat manusia belum menemukan tanda-tanda yang cukup jelas tentang adanya peradaban di luar bumi. Ada dua kemungkinan untuk hal ini. Pertama, memang tidak ada peradaban di luar sana yang setara atau setidaknya lebih tinggi daripada Bumi. Kedua, mungkin sama dengan peradaban Polenisia, peradaban di luar Bumi berada jauh sekali di luar jangkauan manusia. Atau dapat dikatakan, kita dibatasi oleh lautan kosmik yang luar biasa luas.
Tata Surya kita berada pada wilayah galaksi Bima Sakti yang cukup tenang. Wilayah yang tidak terlalu berada di luar yang mungkin tidak terlalu terlindung, namun juga tidak terlalu berada di dalam yang terlalu padat dan dekat dengan pusat Black Hole galaksi. Sebuah keuntungan tersendiri yang membuat kita bisa hadir sampai di waktu ini. Namun, harusnya kita sadar bahwa alam semesta di sekitar kita itu begitu sunyi. Jarak antara tata surya dengan tata surya yang lain sungguh luar biasa luas. Dengan teknologi Appolo yang digunakan untuk mencapai bulan, kita akan sampai dalam kurun waktu 11.500 tahun ke Alpha Century, tata surya terdekat kita. Dan mungkin dengan teknologi roket pendorong nuklir yang belum pernah kita ciptakan (namun pernah dirancang), manusia mampu mencapainya dalam waktu kurang lebih 85 tahun perjalanan (meskipun tingkat resiko dan keamanannya masih perlu dipertanyakan).
Lalu bagaimana seandainya ada di suatu tempat di mana satu tata surya dengan tata surya yang lain begitu dekat. Dan di dalam tata surya tersebut terdapat kehidupan yang bahkan bisa menyokong hingga ke tingkat peradaban yang tinggi.
Bayangkan saja, dua buah peradaban dari dua buah planet atau lebih dapat berinteraksi satu sama lain dengan begitu mudahnya. Mereka datang dari lingkungan yang berbeda, dari peradaban yang berbeda, atau bahkan dari spesies yang sama sekali berbeda. Bisa saja cara berpikir mereka berbeda, bisa juga malah mereka tidak bisa berinteraksi satu sama lain karena media komunikasi yang mereka gunakan sangat amat berbeda, teknologi yang mereka kembangkanpun bahkan bisa bertolak belakang. Di bumi, kita mungkin cenderung menggunakan teknologi material hingga ke elektronik, mungkin di tempat lain, terdapat sebuah peradaban yang hanya menggandalkan pada teknologi biologis semata.
Akan sangat menarik apabila dua bentuk kehidupan cerdas dapat berinteraksi dan saling bertukar pikiran. Namun, definisi kehidupan cerdas sendiri sebenarnya perlu untuk didefinisikan ulang. Kita mengganggap sebuah kehidupan cerdas di bumi adalah kehidupan yang mampu beradaptasi dengan alam dan bahkan menguasainya lewat peralatan dan perkakas yang kita ciptakan. Namun, definisi cerdas di peradaban lain barangkali sangat lain dengan apa yang ada di planet lainnya.
Namun jika kenyataan mengatakan bahwa Bumi merupakan tempat terpencil di alam semesta, dimana peradaban besar lainnya berada jauh di luar jangkauan kita, kita barangkali bisa menilik pertemuan antara Penduduk Polynesia dan Pelaut Inggris. Dua peradaban, yang terpisah ribuan kilometer laut jauhnya dan tidak saling mengenal, akhirnya bertemu dan saling berinteraksi. Kita bisa saja menjadi Penduduk Polyensia yang sedikit tertinggal di bidang teknologi, atau justru menjadi Pelaut Inggris yang mampu menguasai teknologi lebih tinggi daripada pribumi.