Imperialisme & Penyebab Perang Dunia 2

Berakhirnya Perang Dunia 1 menyebabkan Dunia nyaris dibagi ke dalam beberapa pengaruh segelintir negara besar. Inggris dan Perancis menguasai koloni besar di Afrika, Timur Tengah, India, dan Asia Tenggara. Uni Soviet menguasai sisa-sisa kekaisaran Russia. Sementara itu Amerika Serikat yang notabene mampu berdiri sendiri, puas mengisolasi negaranya tanpa perlu campur tangan ke masalah asing.

Imperialisme negara-negara pemenang Perang Dunia 1 membuat mereka mampu memonopoli komoditas perdagangan dunia. Inggris, Soviet, dan Amerika adalah penghasil minyak terbesar dunia di kala itu. Mereka bisa menentukan kepada siapa mereka akan menjual minyak itu dan untuk keperluan apa. Sedangkan Perancis dan Belanda dengan koloninya di Asia Tenggara mampu memonopoli hasil bumi dan karet.

Gambaran perdagangan global di masa itu tentu sangat berbeda dengan apa yang kita lihat sekarang. Sekarang, setiap negara bebas untuk memperjual belikan hasil produksinya ke negara manapun. Tidak ada batasan, dan tidak ada monopoli (sampai ke dalam batas tertentu). Mungkin memang masih ada beberapa negara yang secara ketergantungan masih harus mengekspor dan impor barang kebutuhan dari negara tertentu. Ada juga negara yang karena posisi geografisnya masih harus tergantung kepada negara lain. Tapi secara global, setiap negara bebas menentukan kemana mereka mau menjual dan membeli barang kebutuhan.

Di tahun 1930an, negara-negara di dunia hanya mempunyai 2 opsi untuk bertahan hidup. Pertama, menjadi ekor bagi negara-negara imperialis atau menjadi negara yang ekspansionis. Negara-negara dengan kapasitas industri minim biasanya akan memilih opsi pertama. Contohnya negara-negara di kawasan Amerika Tengah dan Selatan. Sementara itu negara yang mempunyai kapasitas industri tinggi akan mencoba menggapai tanah apapun yang mampu mereka rebut. Jerman, Italia, dan Jepang adalah contohnya. Mereka berusaha mencari apapun yang mampu mereka dapatkan dari yang tersisa di dunia. Jerman berusaha mengklaim wilayah-wilayah Imperial mereka sebelum Perang Dunia 1, Italia berusaha mendapatkan koloni di Afrika Utara dan Ethiopia, sedangkan Jepang mencoba di Asia Timur.

Minyak memang menjadi masalah utama sekarang ini, namun di era pre Perang Dunia 2, bahan makan masih menjadi komoditi utama. Ekspansi Jepang ke Manchuria dan Ekspansi Jerman dalam slogan ‘Lebensraum’ utamanya adalah mengamankan resource hasil bumi. Jerman di masa Perang Dunia 1 menderita kekalahan karena salah satunya faktor pangan. Blokade Inggris membuat Jerman kehilangan pasokan makanan, dan ini sangat vital bagi kehidupan sipil maupun kemampuan berperang.

Apakah minyak menjadi tidak krusial di masa pre Perang Dunia 2? Tentu saja tidak, Jerman dan kemudian Jepang menyadari kekurangan ini. Oleh karena itu, dua negara ini mencoba mengamankan resource mereka jika ingin energi mesin perang mereka terus berjalan.

Peta Produksi Minyak Era 1940an (Perbesar Untuk Lebih Detail)

Jerman harus mengamankan sumber minyak di Ploesti Rumania. Minyak Rumania ini nyatanya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh kekuatan NAZI Jerman. Merekapun harus berusaha mencari sumber lain, dan Baku (Azerbaijan) yang berada di bawah kekuasaan Soviet adalah sasaran berikutnya.

Jepang-pun melakukan hal yang sama. Perang dengan Amerika Serikat sebenarnya hanyalah sebuah pengalih untuk tujuan utama mereka di Asia Tengara. Sumber-sumber minyak ada di Burma dan Indonesia menjadi sasaran tentara Jepang. Setelah menguasai wilayah yang subur sekaligus kaya minyak ini, Jepang tidak punya niatan untuk berperang lebih lama. Mereka ingin melakukan bargain, dan ternyata strategi ini sama sekali tidak berhasil.

Lalu kembali ke ide awal diskusi ini, apakah imperialisme itu mempengaruhi terbukanya Perang Dunia 2?

Singkat kata, ya, imperialisme membuat persaingan antar negara menjadi tidak sehat dan satu-satunya jalan merebut sumber daya adalah dengan melancarkan perang terhadap pusat-pusat sumber daya itu. Beberapa pusat sumber daya yang dicontohkan di atas berada atau di dalam lindungan kekuatan negara besar yang cenderung imperialis. Namun detailnya tidak mudah menyimpulkan hal itu.

Setelah Perang, kita cenderung mendengar bahwa Perang Dunia 2 adalah sebuah pertempuran yang nyaris “suci”. Negara sekutu selalu menggembor-gemborkan bahwa mereka berperang melawan iblis yang beraliran fasis. Pendapat ini salah di dalam setidaknya dua hal.

Pertama, negara sekutu memiliki teman yang tidak kalah bengis dari fasis. Dan teman itu tidak lain adalah Komunis Russia. Saya tidak mengatakan komunisme itu selalu identik dengan kemalangan, namun era Stalin mengukuhkan pendapat itu. Pembantaian, penculikan, dan bahkan pembersihan etnis ada di masa itu. Kekejaman Soviet era Stalin bisa dikatakan seimbang atau bahkan lebih kejam dari Fasis Jerman, Italia, dan Jepang. Hitler memang kejam, namun Stalin memberangus warga negara mereka sendiri, bahkan etnis Russia di dalam Great Purge. Kekejaman ini mungkin tidak banyak didengar oleh orang di luar Russia hingga kekuatan Soviet runtuh di era 90an.

Kedua, negara sekutu sendiri tidak kalah kejam terhadap koloni-koloni mereka. Di Koloni Belgia Congo misalnya, banyak penduduk lokal yang harus cacat tangannya akibat dipotong. Mengapa? Karena mereka gagal memenuhi kuota produksi karet. Sungguh cara yang kejam untuk melakukan kerja paksa. India juga harus mengalami kelaparan yang hebat karena sumber daya makanan yang di eksploitasi oleh Inggris. Belum lagi perilaku diskriminasi di Asia Tenggara dan Timur Tengah. Timur Tengah sendiri menjadi negara-negara seperti sekarang ini karena perbatasan yang digambar secara ceroboh oleh Imperialis Perancis dan Inggris.

 

 

 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.