Selama berabad-abad, Mars telah menjadi pusat perhatian astronomi dunia. Sinar merahnya yang terang di malam hari di interpretasikan menjadi beberapa hal. Dari mulai tempat dewa perang bernaung hingga tempat bara api besar menyala-nyala. Ke eksotikan Mars bahkan terus mempengaruhi manusia hingga masa modern. Seperti astronom Giovanni Schiaparelli, yang menyebutkan bahwa Mars dihuni oleh kehidupan beradab yang mampu membangun kanal-kanal raksasa. Atau Soviet Union yang mengganggap Mars sebagai planet hunian alien revolusioner tanpa kelas (hanya karena warna merahnya).
Namun dewasa ini, Mars kembali menjadi primadona. Bukan karena mitologinya, namun karena potensinya. Mars barangkali menjadi tujuan utama perpindahan manusia dalam beberapa puluh hingga beberapa ratus tahun kedepan. Planet merah itu adalah tujuan pertama dan utama para astronom mengerahkan daya pikirannya dalam mencari terobosan penjelajahan besar manusia setelah Colombus, 6 abad yang lalu.
Namun, misi manusia ke Mars dihinggapi dengan banyak keraguan. Planet tersebut adalah planet gersang yang tidak mempunyai kehidupan (atau setidaknya kita belum tahu ada kehidupan di sana) dan air sangat jarang ditemui. Gravitasi di sana sangatlah rendah, kira-kira 1/3 dari gravitasi di bumi. Jadi jika seseorang mempunyai berat badan 100 kg di bumi, maka di Mars ia hanya mempunyai berat badan kurang lebih 38 kg saja. Tergantung dari tempat, tekanan udara, dan beberapa faktor lainnya. Belum lagi Mars tidak mempunyai atmosfer yang cukup untuk melindungi manusia dari terjangan radiasi kosmik, salah satunya berasal dari matahari. Dengan banyak permasalahan yang masih mengganjal, apakah misi ke Mars adalah sebuah bunuh diri?
Jika membicarakan tantangan, tentu saja misi ke Mars seolah menjadi sebuah misi yang mustahil. Ilmu pengetahuan dan teknologi kita barangkali belum cukup. Bagaimana membuat planet yang gersang tak berpenghuni itu hijau seperti bumi? Padahal di bumi saja, kita masih belum mampu mengatasi perubahan iklim yang kian mengancam kehidupan manusia? Permasalahan nyata yang ada di depan hidung kita.
Namun barangkali kita memang perlu sejenak untuk mengalihkan perhatian. Dengan mengirim misi ke Mars, setidaknya untuk mengirimkan manusia tinggal sementara di sana, adalah sebuah tantangan tersendiri yang mendorong batas kemampuan manusia. Perlu kita ingat kembali, misi Apollo dahulu menggunakan alat komputasi yang tidak lebih baik dari satu handphone monochrome tahun 2000an. Sedangkan kita hanya menggunakan handphone itu untuk sms, telepon, main tetris dan snake. Mesin komputasi yang manusia punya sekarang sudah jauh lebih maju, namun kita justru tidak berani untuk melakukan terobosan ke depan.
Mungkin memang mengirimkan misi manusia untuk tinggal permanen di Mars adalah sebuah misi bunuh diri. Akan tetapi mengirimkan misi manusia untuk tinggal sementara di sana barangkali adalah sebuah pilihan yang tepat. Seperti kita mengirimkan misi atau ekspedisi ke Antartika. Mempelajari kesulitan, kekurangan, dan mungkin sisi positif dari kehidupan di sana. Dan kemudian membangun sebuah pemukiman atau paling tidak stasiun penelitian yang akan digunakan untuk misi-misi selanjutnya. Setiap misi akan menyempurnakan stasiun yang ada, hingga suatu saat sebuah misi kehidupan permanen sudah mungkin untuk dilakukan.
Cara diatas mungkin mahal dan membutuhkan banyak biaya, namun cara seperti itu dapat meningkatkan pemahaman dan pengertian kita terhadap planet merah itu. Apa yang terkandung di sana, dan bagaimana kandungan itu dapat bermanfaat bagi manusia. Syukur-syukur sebuah material berharga dapat ditemukan. Karena jika memang itu ada, maka hasrat manusia untuk semakin mengeksplorasi palent itu akan semakin berkembang. Hanya saja perlu diberi batas yang jelas, agar Mars tidak menjadi rusak oleh kesalahan tangan manusia.
Lalu bagaimana dengan Bumi? Apakah manusia di masa depan tidak lagi peduli dengan planet ini? Bumi menurut hemat saya tetap akan menjadi planet utama manusia meskipun kehidupan permanen manusia sudah dibentuk di Mars. Bumi masih menjadi pusat kebudayaan, informasi, dan perkembangan manusia untuk setidaknya beberapa ratus tahun kedepan setelah (jika) kolonisasi Mars berhasil. Seperti halnya Eropa dengan Benua Amerika sekarang ini. Eropa masih menjadi kiblat bagi bekas-bekas koloninya di dunia baru, meskipun mereka sudah merdeka untuk beberapa ratus tahun.
Dan mungkin saja dengan belajar dari kolonisasi Mars, kita dapat menemukan resep ajaib untuk memperbaiki planet Bumi yang kian hari kian sekarat ini. Mars adalah masa depan bumi jika planet ini salah kelola, sebuah tempat gersang tak berkehidupan. Jika manusia mampu menemukan solusi untuk Mars, maka solusi untuk bumi bisa dipastikan diketemukan pula. Dan generasi-generasi penerus manusia kelak akan menatap era kita sebagai era yang gemilang, sebuah good old days.