Akhir-akhir ini sering kita dengar kabar jika komunisme sedang disebar secara besar-besaran di Indonesia. Dari mulai foto-foto orang mengibarkan bendera palu arit hingga logo uang baru yang menyerupai lambang negeri-negeri komunis. Isu-isu tersebut menjadi bahan pembicaraan yang hangat dan bahkan berjalan hingga ke ranah hukum. Mengapa isu ini manjadi penting di Indonesia?
Masyarakat Indonesia sampai sekarang masih mengindentifikasi dirinya sebagai masyarakat yang religius. Orang yang tidak mempunyai agama atau setidaknya meragukan agama yang mereka anut adalah sebuah hal yang ‘out of question’. Makanya, ketika orang mendapati simbol palu arit, yang notabene identik dengan atheisme, maka kebanyakan dari masyarakat Indonesia akan kebakaran jenggot.
Dibandingkan dengan ketakutan terhadap komunisme, yang sekarang ini tidak jelas keberadaannya. Orang Indonesia seharusnya lebih mewaspadai berkembangnya atheisme. Jika memang orang Indonesia takut jika Identitasnya terhadap masyarakat religius terancam.
Inipun bukan berarti ateisme adalah sebuah pemikiran yang berbahaya, namun semata karena pemikiran ini dapat menyinggung identitas bangsa ini sejak lama.
Setelah tumbangnya negara-negara Komunis yang sering dikaitkan dengan atheisme, kini atheisme tersebut justru berkembang dengan sangat cepat. Perang Dingin yang berlangsung nyaris setelah perang dunia 2 hingga awal 90 an dilambangkan sebagai perang antara negara bertuhan melawan negara non tuhan. Amerika memposisikan dirinya sebagai negara bertuhan sedangkan soviet memutuskan sebaliknya. Meskipun pada kenyataannya tidak pernah sesimpel itu. Amerika Serikat misalnya, sebelumnya tidak terlalu memikirkan keberadaan tuhan dalam menjalankan negara. Ini karena founding fathers mereka menganggap bahwa agama seharusnya dipisahkan dari negara. Mereka merasa paranoid dengan apa yang terjadi di Eropa kala itu, ketika negara menjadi terlalu dikontrol oleh Gereja. Menyebabkan kedua lembaga itu menjadi gerombolan korup yang tidak tanggap dengan rakyatnya.
Menurut survey yang dibuat oleh Gallup, 19% penduduk Saudi Arabia menyatakan dirinya tidak religius. Ini artinya mereka tidak terlalu memperhatikan kehidupan agama dan lebih condong kepada paham sekuler. Meskipun dalam kehidupan, atau catatan resmi, mereka masih mengidentifikasi diri mereka sebagai orang yang mempunyai agama. Hal yang lebih mengejutkan lagi, 5% masayarakat Saudi menyatakan dirinya sebagai atheis. Sebuah survey yang cukup mencengangkan jika data tersebut benar.
Mengapa saya memaparkan data di Saudi Arabia? Karena kebanyakan dari kita mengganggap bahwa Saudi adalah sebuah negara religius yang homogen. Nyatanya, negara seperti itu saja masih mempunyai banyak sudut2 yang masih belum kita ketahui sepenuhnya. Apalagi di Indonesia yang relatif adalah negara yang bebas arus informasi.
Di Indonesia, orang yang menyatakan diri tidak berafiliasi masih cenderung untuk menutup diri. Dan saya sendiri belum menemui survey yang cukup layak untuk dipercaya. Di Indonesia, menjadi atheist mempunyai stigma yang sangat buruk. Pertama, karena dogma orde baru, yang mengasosiasikan atheisme dengan komunisme. Dan komunisme sendiri adalah musuh negara yang harus diperangi. Kedua, pandangan masyarakat yang memandang bahwa seseorang yang tak beragama adalah sesuatu yang sesat. Dan ketiga, secara hukum menjadi atheis adalah illegal.
Namun di Jakarta, saya sudah menemui beberapa orang yang secara terbuka menganggap dirinya atheis, atau setidaknya agnostic. Perbedaan atheisme dan agnostic sudah saya bahas pada posting saya yang sebelumnya. – Lalu mengapa orang sekarang banyak yang menganggap dirinya lebih baik tidak berasosiasi dengan agama manapun?
Pertama, alasan mereka adalah alasan klasik. Mereka bosan dengan dogma-dogma yang secara umum dijalankan oleh agama. Mereka mengganggap bahwa beberapa dogma agama terlalu membatasi dan sudah saatnya untuk diubah. Ini mirip dengan reformasi protestan di Eropa, dan akhirnya sekulerisme di awal abad 19.
Kedua, mereka bosan terhadap debat2 panjang di agama tentang siapa yang paling benar. Fenomena ini sering kita temui di Indonesia. Tidak hanya antar satu pemeluk agama dengan agama lainnya. Perdebatan ini juga muncul pada intern umat beragama. Satu kelompok klaim jika dirinya lebih baik dari kelompok lainnya, mereka lebih benar, dan jika merekalah yang paling dekat dengan Tuhan. Jika di Indonesia perdebatan ini terus berkepanjangan, maka tidak menutup kemungkinan, akan semakin banyak orang yang apatis terhadap agama.
Ketiga, semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Ada masanya agama sangat dekat dengan ilmu pengetahuan seperti saat masa kejayaan dinasti Abbasiah di Baghdad. Namun masa-masa itu sepertinya belum mampu untuk terulang lagi. Dan sekarang, banyak pemikir agama yang cenderung menutup diri dengan ilmu pengetahuan. Flat Earth theory misalnya, banyak disokong dan didukung oleh pemuka agama. Baik dari agama dan kepercayaan manapun. Anti-science seperti inilah yang menyebabkan banyak orang menjadi anti berkepercayaan. Salah satu teori yang paling sering berbenturan antara atheisme dan agama adalah Evolusi. Apakah nantinya evolusi dapat menemui titik temu dengan agama? Biarkan waktu yang dapat menjawabnya.
Kalau saja saya tidak hidup di pesantern sejak kecil, mungkin saya juga ikut..
Btw, ini bukan post mengajak atheis ya, saya juga mengidentifikasikan diri bukan sebagai-nya.
Tidak masalah. Yang penting di dunia ini tidak kehabisan orang-orang baik
Tepat sekali…