China belum lama ini melakukan claim terhadap spartly island yang sekian lama dianggap dimiliki oleh Filipina. Mereka juga berseteru dengan Vietnam terkait batas wilayah perbatasan. Dan negara kita belum lama ini bersitegang masalah pencurian ikan, dimana kapal nelayan China yang akan ditangkap sengaja dihalangi oleh kapal coast guard negara tirai bambu itu. Tiga negara besar di ASEAN tanpa takut diganggu oleh China, apakah itu artinya persatuan Asia Tenggara ini tidak mempunyai taring di mata internasional.
Walaupun ASEAN secara rutin mengadakan pertemuan antar menteri-menteri pertahanannya, namun pakta pertahanan seperti NATO belum pernah terwujud. Dengan total penduduk 650 juta lebih dan sumber daya alam melimpah yang dimilikinya. ASEAN sebenarnya mampu menjadi pemain global dunia yang patut untuk diperhitungkan. Dan jika ia berniat untuk membentuk sebuah pakta pertahanan, guna membendung dua kekuatan besar yang sedang berkembang di Asia (India dan China). Maka tidak menutup kemungkinan jika ASEAN justru mampu lebih besar daripada kedua negara yang sedang naik daun tersebut.
Indonesia memang memegang teguh politik bebas aktif, sebuah falsafah yang merupakan wujud netralitas untuk tidak berpihak kepada Blok Barat maupun Blok Timur kala Perang Dingin. Sekarang, banyak yang mengartikan bahwa Indonesia seharusnya tidak tergabung dengan pakta pertahanan manapun dan lebih berpihak kepada perdamaian. Nampak jika kita lihat, Indonesia cukup aktif mengirimkan kontingennya ke berbagai negara lewat PBB. Namun, apakah itu cukup untuk menapaki tantangan ke depan?
Dalam salah satu artikel di globalasiablog, disebutkan bahwa pertumbuhan belanja militer China dari tahun 2002 hingga 2012 adalah 170% sedangkan ASEAN hanya 41.7%. Jumlah jomplang lebih dari empat kali lipat. Namun jika ditilik dari personel militer aktif, negara-negara Asia Tenggara masih dapat bernafas lega karena mereka mempunyai jumlah 1,827 juta personel, sedangkan China mempunyai 2,17 juta personel. Tinggal bagaimana melengkapi personel aktif itu dengan persenjataan yang cukup dan koordinasi militer yang tepat.
Mempersenjatai personel militer dengan peralatan yang tepat mungkin telah menjadi impian kuat negara-negara Asia Tenggara. Indonesia misalnya, berusaha memenuhi minimum essential force dengan gencar melakukan pembelian alutsista baik dari dalam maupun luar negeri. Namun koordinasi militer antara negara Asia Tenggara masih belum nampak, dan barangkali masih jauh di awang-awang.
Beberapa waktu lalu, 10 awak kapal Indonesia ditawan oleh pemberontak Abu Sayyaf di Filiphina. Mereka meminta tebusan sebanyak 500 juta peso, namun pemerintah Indonesia dengan tegas menolak. Pemerintah menawarkan bantuan militer kepada Filiphina untuk membebaskan tawanan, namun mereka menolak kehadiran kekuatan asing dalam operasi mereka. Ya, Filiphina mungkin berusaha menunjukan bahwa negaranya mampu mengatasi masalah internal. Akan tetapi insiden ini juga sebagai bukti bahwa sinkronisasi militer di negara-negara ASEAN masih sendiri-sendiri. Belum ada sebuah pembicaraan pakta pertahanan yang pasti dan jelas. Misal di satu negara mengalami masalah terorisme atau keamanan, bagaimana negara lain akan bertindak dan lain sebagainya.
India dan China sedang giat memperkuat diri, jika ASEAN tinggal diam. Maka negara-negara itu hanya akan menjadi penonton dari tubrukan dua raksasa Asia. Memperkuat pertahanan bukan berarti sebuah negara akan maju berperang. Mempunyai pertahanan yang kuat dan solid adalah sebuah cara agar negara tetap mempunyai wibawa dimata negara lain.
Dengan berbagai tantangan yang ada, sudah sepantasnyalah kalau negara-negara ASEAN mawas diri. Negara-negara itu menempati kawasan yang strategis dan mempunyai nilai ekonomi tinggi. Memperkuat pertahanan hanyalah salah satu cara untuk melindungi diri. Jika ASEAN mempunyai pakta pertahanan yang kuat seperti NATO, maka wibawa dan pandangan negara-negara lain akan menjadi berbeda.