Sejarah manusia dipenuhi dengan kegetiran dan kegemilangan pertempuran demi pertempuran. Berbagai alasan digunakan untuk melegalkan sebuah konflik yang seringnya berujung kepada kengerian daripada sebuah pencerahan. Alasan mulai dari perluasan kekuasaan, kebebasan, agama, hegemoni, rasial, dan masih banyak alasan yang mungkin bahkan jauh lebih tidak masuk akal lagi. Setiap alasan terkadang justru membawa kepada alasan-alasan lain bagi bangsa, kelompok, suku ataupun individu penguasa untuk menyatakan perang sebagai bentuk kebenciannya kepada pihak lainnya. Sekilas kita mengganggap bahwa sikap semacam itu adalah sebuah cerminan dari watak manusia sehingga kita mengganggapnya sebagai sebuah kewajaran.
Lima puluh juta orang tewas akibat Perang Dunia ke 2 yang berlangsung kurang lebih selama lima tahun dari akhir 1939 sampai pertengahan 1945. Konflik itu merupakan konflik terbesar yang pernah dihadapi umat manusia selama sejarahnya ada di muka bumi ini. Konflik yang menggakibatkan kita merenung dan berfikir ulang untuk melangsungkan bentuk sejenis di masa-masa mendatang. Perang Dunia ke 2 sepatutnya menjadi tolak ukur kita sebagai pembanding bahwa kemajuan manusia di bidang ilmu pengetahuan akan sebanding dengan jumlah korban di dalam pertempuran. Dan sekarang kita telah berada di dalam fase kritis.
Kita patut bersyukur karena perang dingin, meskipun di beberapa tempat terjadi pertumpahan darah secara signifikan, tidak membuat manusia menggunakan teknologi terbesar (dan barangkali terbodohnya) yaitu senjata nuklir untuk melawan musuhnya. Jika bom yang mempunyai kekuatan puluhan bahkan ribuan kali bom Hiroshima dan Nagasaki benar-benar di detonasikan. Entah seperti apa kehidupun kita di masa sekarang ini. Barangkali kita hidup di masa thermal minus yang mungkin serupa dengan jaman es ribuan tahun yang lalu. Atau barangkali kota-kota kita tinggal reruntuhan saja dan kita terpaksa hidup di dalam gang-gangnya dengan getir.
Dalam dasawarsa terakhir, kita mendengar jenis-jenis pertumpahan darah yang lama sekali tidak terdengar semenjak Perang Salib. Konflik berdarah yang terjadi dalam skala tidak terlalu masif namun terpencar dan justru sangat meneror terjadi dari Amerika, Timur Tengah, bahkan Asia Tenggara. Jenis konflik yang mengatasnamakan agama ini semakin meruncing dengan keluarnya luka lama yang sengaja dibesar-besarkan sehingga menjadi sebuah angin segar baru bagi para ekstrimis.
Perjuangan memang seringkali membutuhkan kekerasan karena dengan kekerasan maka mudah sekali menentukan definisi dari siapa yang menang dan siapa yang kalah. Yang kalah adalah pihak yang dengan terpaksa tidak mampu lagi meneruskan perlawanan fisiknya sementara yang menang adalah pihak yang masih mampu menggangkat senjata dan mendiktekan syarat kemenangannya kepada pihak lawannya. Sebuah solusi purba yang barangkali telah ada semenjak peradaban manusia pertama kali muncul di dunia ini. Namun, solusi-solusi pertumpahan darah dan kekerasan itu dewasa ini sepertinya tidak lagi koheren. Ada istilah, “war is not defines who is right, just who is left.” – Perang tidak lagi menentukan siapa yang benar, namun siapa yang tersisa.
Barangkali dengan konsep perang yang rumit seperti Perang Barat melawan pihak yang mereka sebut sebagai teroris adalah sebuah konflik yang bakal berkepanjangan jika tidak benar-benar dipikirkan. Selalu ada saja celah bagi satu pihak untuk membenci pihak yang lainnya. Apalagi di negeri-negeri Islam pada khususnya, sentimen anti barat yang dianggap pro kepada agresi Israel atas Palestina benar-benar tinggi. Mudah saja bagi seorang pemuda untuk membenci tetangga barat mereka daripada bersikap toleran terhadapnya.
Perang adalah perang dan perang selalu lebih banyak meninggalkan duka daripada sebuah kemenangan mutlak, atau justru di suatu saat akan menimbulkan sebuah konflik yang baru. Dalam buku Ghandi The Man, di sana dibahas beberapa konsep perlawanan manusia terhadap penindasan dengan cara non kekerasan. “Sebuah perlawanan tanpa kekerasan itu bukan berarti pasif, konsep perlawanan seperti itu justru membutuhkan kesabaran dan kemauan yang jauh lebih besar daripada kekerasan”, begitulah kurang lebih apa yang menjadi pokok pikiran ajaran Gandhi.
Memang sepintas, sikap diam dan mengalah dipandah sebagai sebuah sikap yang lemah dan tidak macho. Sebaliknya, perang adalah sebuah solusi yang nampak sebagai refleksi maskulinitas bagi pelakunya. Dunia yang ada di sekitar kita adalah dunia patriarki yang lebih menonjolkan kelaki-lakian – yang diidentikan dengan sikap tegas dan otoriter. Konsep berpikir secara tenang dan berhati-hati memang lebih sulit ditangkap oleh indra sebagian besar orang. Karena memang konsep ketenangan dan kehati-hatian di dalam bertindak itu adalah sebuah konsep berpikir yang sangat amat sulit untuk dilaksanakan. “butuh usaha lebih” – kurang lebih itu juga yang diungkapkan Gandhi dalam buku yang ditulis oleh Enath Easwaran tersebut.
Di dunia ini, akan selalu ada dua sisi mata uang yang berbeda (jika saja disederhanakan dalam bentuk yang paling simpel). Satu sisi adalah rombongan orang yang selalu tergesa-gesa, mengedepankan emosi, menggumbar permusuhan, dan membesar-besarkan permasalahan. Di satu sisi yang lain terdapat orang-orang yang lebih percaya kepada solusi masalah, kehati-hatian, dan kesabaran. Dua kubu itu memang selalu ada dan tidak bisa menghilangkan satu sama lain. Memang jika lebih banyak tipe kedua, maka dunia ini akan terasa lebih damai dan tenang. Namun sebenarnya hal itu tidak mungkin terjadi karen sifat alamiah manusia yang akan selalu menginginkan kekuasaan dan haus akan kegemilangan. Akan tetapi, harapan itu pastilah tetap ada, dunia yang lebih nyaman untuk ditinggali ketika manusia lebih menggedepankan akal daripada nafsu emosi mereka untuk menyelesaikan permasalahannya.
oleh: Anindita Saktiaji