Jakarta adalah ibukota Indonesia, pusat pemerintahan sekaligus ekonomi bagi negara dengan penduduk ke empat terbesar di Indonesia. Dari 259 juta penduduknya, 10 juta tinggal di Jakarta, namun jika ditambah dengan daerah penyangga (jabodetabek), maka penduduk jakarta mencapai 30 juta jiwa. Satu dari 8 orang Indonesia tinggal di Jakarta dan sekitarnya. Dengan penduduk yang super besar itu. Sudah sewajarnya Jakarta mempunyai alat angkut transportasi umum (atau massal) yang memadahi. Jika seluruh manusia itu tumpah dengan kendaraan pribadi masing-masing, bisa dibayangkan betapa ruwetnya jalanan di Jakarta.
Sayangnya, pemikiran pembangunan transportasi umum (atau massal) di ibukota belumlah lama dicanangkan. Dan pembangunannya terkesan sendiri-sendiri, tidak terintegrasi, dan mungkin masih menuai PR banyak.
Peningkatan pelayanan KRL misalnya, baru terasa benar ketika Igansius Jonan menjadi bos KAI tahun 2009. Kinerja beliau patut diapresiasi sebagai bentuk reformasi pelayanan angkutan publik terbaik di Indonesia. Meskipun masih banyak kekurangan di sana-sini seperti keterlambatan kereta yang masih sering terjadi, kurangnya armada dari daerah penyangga, dan kondisi beberapa gerbong yang sudah tua dan cukup tidak layak pakai.
Pembangunan transjakarta di tahun 2004 juga dianggap sebagai angin segar terhadap kian mendesaknya kebutuhan transportasi masal yang layak di ibukota. Transjakarta diharapkan mampu menjadi solusi jitu terhadap kemacetan jalanan ibukota dengan menyediakan jalur khusus yang steril bagi bus ini untuk berlalu lalang. Sayangnya, jalur khusus yang disebut busway itu sering masih disusupi kendaraan lain, sehingga transjakarta sering pula ikut terjebak macet. Jalurnyapun belum banyak, dan armada yang digunakan masih belum mencukupi. Waktu tunggu masih berkisar antara 10 – 30 menit lamanya di beberapa kesempatan. Tentu waktu tunggu sepanjang itu sangat tidak ideal bagi masyarakat ibukota yang harus berkutan dengan cepatnya waktu berjalan.
Poin yang masih perlu digaris bawahi antara adanya Transjakarta dan angkutan massal lain seperti KRL adalah, minimnya integrasi antara kedua moda transportasi itu. Stasiun-stasiun yang dilintasi KRL sebagian besar masih belum terhubung dengan transjakarta. Misalnya saja, jika orang turun dari stasiun pasar senen, dia harus berjalan 500m untuk sampai halte terdekat. Atau jika turun dari stasiun Sudirman (yang notabene sangat ramai dengan kaum pekerja), anda harus berjalan hingga halte dukuh atas, menyeberang dua kali perlintasan jalan yang cukup ramai tanpa ada rambu2 lalu lintas yang jelas. Dan masih banyak lagi stasiun-stasiun KRL yang bahkan tidak mempunyai akses sama sekali ke halte transjakarta.
Yang lebih lucu lagi adalah, beberapa pusat keramaian seperti pusat perbelanjaan dan perkantoran masih jauh dari jangkauan transjakarta maupun KRL. Tempat saya bekerja di SCBD misalnya saja, stasiun KRL terdekat berada di Sudirman. Artinya, stasiun Sudirman harus melayani volume penumpang yang (berkantor) berjubel dari mulai bundaran HI sampai ke bundaran Senayan.
Tentu saja, sebab-sebab repotnya menggunakan transportasi umum diatas yang menyebabkan orang masih enggan memakai moda transportasi yang seharusnya dapat mengurangi kemacetan ibukota. Dan karena sebab itulah juga, moda transportasi seperti ojek, dan kopaja atau metromini masih ramai digunakan.
Bicara masalah kopaja dan metromini, entah mengapa fosil hidup ini dari dulu tidak pernah diganti. Usia kendaraannya mungkin sudah tigapuluh tahun atau bahkan lebih. Bentuknya sudah reyot dan tidak sedikit yang mesinnya telah rusak. Cara bertransportasi supirnyapun buruk, mereka suka ngetem di pinggir jalan, menyebabkan macet yang berkepanjangan. Menaikan dan menurunkan penumpang-pun secara sembarangan. Seolah jalan milik mereka sendiri. Belum lagi berbagai kecelakaan yang melibatkan sopir kopaja. Sungguh memalukan sebenarnya kalau di kota yang sedang giat membangun citra sebagai kota modern masih mempunyai kebobrokan semacam itu.
Bukan bermaksud meng-agungkan negara lain, tapi ketika kita tilik negara tetangga seperti Singapura. Disana transportasi bus menjadi pilihan yang begitu nyaman dibandingkan harus menggunakan kendaraan pribadi. Bus dapat mengantar siapapun kemanapun ia ingin tuju. Biaya yang harus dikeluarkan-pun sangat minim, dengan kenyamanan yang sangat dapat diacungi jempol. Tidak ada penumpang yang berjubel, tidak ada waktu tunggu yang lama, tidak ada kejahatan yang berarti, tidak ada bus yang reyot, dan tentu saja tidak ada bus yang ngetem menunggu penumpang.
Di tahun 2015, Jakarta kembali mendapatkan angin segar dengan dibangunnya MRT. Mass Rapid Transportation atau kereta subway ini direncanakan untuk dibangun di dua koridor. Koridor lebak bulus – Bundaran HI dan Bundaran HI – Kampung Bandan. Namun, konsentrasi pertama pembangunan diadakan di Lebak Bulus – Bundaran HI yang notabene sebagai pusat Bisnis di Jakarta. Pembangunan direncanakan selesai tahun 2018 atau tiga tahun setelah pertama kali diresmikan. Sebuah mode transportasi yang nantinya diharapkan dapat menjadi alternatif tambahan bagi Jakarta untuk melakukan mobilisasi.
Kami sendiri tidak tahu, apakah MRT nantinya akan menjadi solusi jitu masalah angkutan masal di Jakarta. Namun tanpa adanya integrasi dengan mode transportasi lain, saya rasa MRT belum mampu sepenuhnya menjadi obat mujarab. Jakarta adalah tempat yang luas, apalagi ditambah dengan daerah-daerah penyangganya. Akan lebih bijaksana jika mode trasnportasi lama seperti kopaja dan metromini diperbaiki manajemennya dan diperbarui busnya. Ditambah lagi dengan mode angkutan masal lain seperti transjakarta, KRL, dan MRT. Jika semua angkutan masal itu dapat bersinergi, kami yakin Jakarta akan menjadi tempat yang nyaman dan bertransportasi publik yang handal. Mungkin suatu saat, kita dapat bangga dengan angkutan masal kita, sejajar dengan negara tetangga kita Singpura yang oleh beberapa pihak didapuk mempunyai angkutan publik terbaik di dunia.