Tech Utopia dan Masa Depan Manusia

Stephen Hawking dan Elon Musk dalam beberapa kali kesempatan mengutarakan kekhawatiran mereka terhadap perkembangan Artificial Intelligence (atau yang sering kita sebut sebagai kecerdasan buatan/AI). Mereka berpendapat bahwa AI akan mampu menggantikan peran manusia seutuhnya dalam beberapa dekade. Bukan hanya sebagai pekerja kasar, namun juga sebagai pekerja white collar seperti akuntan, dokter, pekerja di bidang IT, jurnalis, pialang, manajer investasi, bahkan seniman. Perkembangan AI memang cukup pesat dalam beberapa tahun belakangan. Dari apa yang awalnya hanya sebuah mesin otomatisasi, kini telah berubah menjadi mesin yang membuat hidup manusia jauh lebih mudah.

Elon Musk (Kiri) dan Stephen Hawking (Kanan)

Di dalam dunia industri, kinerja mesin telah banyak menggantikan manusia. Manufaktur otomotif misalnya, jika kita ada waktu untuk melihat-lihat bagaimana pabrik mereka beroperasi. Kita akan menemui lebih banyak pekerjaan kasar dilakukan oleh mesin daripada oleh manusia. Dalam melakukan pekerjaan kasar, manusia memang ada batasnya. Kita bisa merasa lelah, mengantuk, atau melakukan kesalahan-kesalahan. Sedangkan mesin dipandang lebih tahan banting. Walaupun memang, dalam beberapa aspek, mesin perlu maintenance yang cukup intensif juga. Dan maintenance tersebut sampai saat ini masih dilakukan oleh manusia. Yang dipandang lebih intuitif, dan mampu berpikir secara konstruktif. Namun apakah selamanya seperti itu?

Jika kita sedikit menilik kehidupan digital sehari-hari, kita akan menemui banyak hal absurd yang tidak pernah ditemui sebelumnya. Misalnya saja, kita baru saja berbelanja suatu barang di online shop. Dan beberapa hari kemudian ketika kita mengunjungi website lain. Maka ada iklan di website tersebut yang menawarkan barang sejenis dengan beberapa variasi harga. Di kasus lain, ketika kita pergi berlibur ke suatu tempat dan mengandalkan GPS untuk mencari jalan. Maka aplikasi GPS/Maps mampu memberikan saran kepada kita untuk mengambil jalan paling cepat, meskipun jalan tersebut terkadang memutar dan sedikit lebih jauh dari jalan sebelumnya.

Contoh diatas baru sedikit dari sekian banyak perkembangan teknologi yang membantu kehidupan kita. Apakah teknologi itu bisa dikatakan sebagai AI? Di beberapa aspek memang tidak, namun secara garis besar, kita bisa menyebutnya sebagai AI. Bagi orang yang familiar dengan game, mereka tentu sering bersinggungan dengan AI atau yang sering mereka sebut sebagai Bot. Sebagian besar game komputer sekarang ini menggunakan mekanisme AI untuk sekedar mempercantik permainan atau membuat game menjadi lebih menantang bagi para pemainnya. Bahkan, beberapa AI di dalam game sekarang ini mampu bermain setara atau bahkan lebih baik daripada pemain game profesional. Self driving car barangkali akan menjadi tren dunia dalam jangka waktu yang tidak lama lagi. Tesla dan Google  tengah berusaha menyempurnakan self driving car mereka masing-masing. Dan uniknya, Tesla dimiliki oleh Elon Musk, orang yang secara terbuka mengkritisi tentang kemajuan AI.

Apakah manusia harus khawatir dengan perkembangan AI? Atau ini hanya sekedar paranoid semata seperti pada dekade sebelumnya. Ketika mesin dan komputer mulai menggantikan beberapa aspek pekerjaan yang sebelumnya membutuhkan tenaga manusia?

“We are summoning the demon.” Kata Elon Musk mengacu pada perkembangan AI belakangan ini. Dan Stephen Hawking pernah menyatakan, “The development of full artificial intelligence could spell the end of the human race.” saat wawancaranya dengan BBC di tahun 2014.

Ketakutan dari dua orang yang fenomenal di bidangnya itu tentu tidak diucapkan tanpa alasan yang kuat. Perkembangan AI sekarang berbeda dengan revolusi mesin dan komputer beberapa dekade lalu. Manusia, untuk pertama kalinya tidak hanya berhadapan dengan otomatisasi. Manusia tidak hanya sedang berhadapan dengan mesin yang lebih kuat dan lebih cepat dalam bekerja, namun manusia juga berhadapan dengan mesin yang kemungkinan dapat berfikir secara kreatif dan bahkan lebih inovatif daripada manusia itu sendiri. Ini adalah hal yang serius.

Di satu tahap, saya pernah membayangkan bahwa manusia hanyalah sebuah middleware. Kita muncul sebagai perantara untuk terciptanya sebuah entitas yang jauh lebih hebat daripada manusia itu sendiri sebagai penciptanya. AI barangkali adalah entitas itu, yang akan meneruskan peradaban manusia ke arah yang lebih maju lagi. Dan bayangan saya ternyata juga pernah menjadi buah pikiran beberapa orang yang saya temui di internet atau sekedar artikel di sana. Memang, pemikiran ini mungkin terdengar extreme atau bahkan terlalu science fiction.

Tech Utopia menempatkan AI pada sebuah level yang istimewa. Ide itu mengganggap bahwa AI adalah sebuah cara dimana manusia mampu menjadi lebih baik dan lebih maju dari yang ada sekarang. Bagaimana caranya? Ada beberapa poin, salah satunya integrasi kehidupan manusia dengan AI. Yang secara ironis telah perlahan-lahan secara tidak sadar telah kita jalani.

Saya sendiri mempunyai pendapat yang berbeda dengan Musk dan Hawking. Bagi saya, Tech Utopia bisa saja terwujud, meskipun pada awalnya manusia berada di fase yang berbahaya. Sebagian pekerjaan yang manusia lakukan sekarang ini akan tergantikan oleh AI, dan perlahan, beberapa aspek kehidupan manusia akan diambil alih olehnya. Dari mulai pendidikan, keamanan, bahkan jika kita tidak keberatan, politik.

Manusia akan menghadapi sebuah krisis, terutama krisis identitas. Manusia akan berubah dari makhluk yang mengendalikan, menjadi makhluk yang hidup di dalam kendali. Namun hidup dalam kendali tidaklah sama dengan hidup menjadi budak. Terutama sekali dalam kebebasan politik.

AI barangkali mampu menjalankan politik negara jauh lebih baik dari manusia. Karena AI tidak mempunyai bias dan tidak mempunyai kepentingan untuk korupsi. Atau setidaknya begitulah pendapat saya. Di sini memang manusia tidak mempunyai kebebasan politik seperti masa sebelumnya. Namun bukan juga manusia benar-benar hidup dalam belenggu.

AI bisa saja berbahaya dan bisa juga menguntungkan. Semua tergantung dari sudut pandang manusia dalam menanggapinya dan bersikap terhadapnya. Bagi saya, “keadilan sosial bagi seluruh rakyat” tidak akan pernah bisa terwujud sebelum manusia yang menjalankan pemerintahan bebas dari bias dan kepentingan golongan. Dan menurut saya, AI adalah salah satu entitas yang bebas dari bias dan kepentingan golongan. Apakah dengan menyerahkan mandat kekuasaan menjadikan manusia kalah? Kembali kepada definisi kalah itu sendiri. Sebenarnya apa artinya kalah? Jika memang AI dibuat untuk menjadikan kehidupan manusia lebih baik, maka kalah bukanlah sebuah sebutan yang tepat. Barangkali, menangpun juga bukan.

 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.