Beberapa waktu yang lalu, ketika saya hendak berpergian menggunakan Trans Jakarta di koridor Blok M – Kota, saya mendapati sebuah bus yang cukup lenggang. Seperti bus Trans Jakarta Pada Umumnya, terdapat pembedaan antara tempat duduk yang digunakan oleh pria dan wanita. Ada sebuah tempat tersendiri bagi wanita yang terdapat di bagian paling depan dari bus. Wajarnya, tempat ini tidak boleh diduduki oleh pria walaupun keadaannya cukup sepi. Namun, apa yang aku lihat justru sebaliknya, beberapa pria dengan santainya duduk di tempat tersebut. Mereka bukannya tidak tahu kalau tempat itu dikhususkan untuk wanita, karena aku mendengar salah seorang rekan mereka sempat memberitahukan hal tersebut.
Kejadian itu bukan pertama kali aku lihat di bus trans jakarta. Sebuah peraturan sederhana dan kecil yang bahkan dengan mudah kita dapat lakukan. Melanggar peraturan, terutama peraturan yang menyangkut kepentingan umum, hampir menjadi pemandangan sehari-hari di negeri kita. Mengapa kita melakukannya? Atau lebih tepatnya, mengapa kita terus melakukannya?
Kedisiplinan bukanlah sebuah bunga yang mekar dalam semalam. Perlu adanya tradisi panjang yang membuat sekelompok manusia menjadi manusia yang bertanggung jawab dan disiplin. Sayang sekali, kita sebagai bangsa belum mempunyai kematangan untuk melakukannya. Kita sering sekali melalaikan hal yang kecil dan sepele. Membuang sampah pada tempat yang sudah ditentukan adalah salah satu contohnya. Coba saja, berapa dari anda yang mau mengantongi bungkus permen kosong yang telah anda makan sebelum menumukan tong sampah? Atau mungkin anda termasuk orang yang dengan mudahnya akan membuang bungkus permen itu secara sembarang tanpa memperhatikan resikonya lebih jauh.
Kesadaran seorang manusia itu menjadi penting ketika setiap individu mempunyai andil di dalam kehidupan masyarakat modern dan padat seperti saat ini. Saya sempat berpikir, mengapa kebanyakan dari kita banyak yang tidak peduli terhadap kehidupan yang berskala nasional? Apakah ada yang salah dengan tata kehidupan nasional yang ada di negara kita?
Mungkin memang masa yang telah membawa pemikiran kita terpisah antara satu individu dengan individu lainnya. Keterikatan emosional kita dengan tetangga misalkan, jauh berkurang daripada beberapa dekade sebelumnya. Kejadian ini tidak hanya terjadi di wilayah perkotaan, namun juga di pedalaman desa. Kemajuan teknologi adalah salah satu faktor yang mendorong fenomena ini. Manusia akan semakin mudah berkomunikasi, dan atau, justru memutus komunikasi.
Apakah kemajuan teknologi manusia itu mampu mendekatkan kepada Utopia? Jawabannya tergantung dari kita dalam mengartikan apa sebenarnya Utopia. Sebuah keadaan yang benar-benar harmonis, keseimbangan kehidupan manusia, kemakmuran, kebahagiaan yang hadir di setiap lini kehidupan? Utopia sendiri belum pernah hadir di dunia ini dalam skala global. Mungkin iya jika ditilik dari sedut-sudut tertentu dalam sebuah wilayah masyarakat. Namun tidak untuk sebuah masyarakat yang begitu banyak.
Beberapa hari lalu ada sebuah ‘joke’ yang beredar di internet. Planet Jupiter yang bertindak sebagai dokter menanyai Bumi yang terlihat sakit. Dokter Jupiter berkata “im afraid you have humans” – “aku takut (khawatir) kamu mempunyai manusia!”
Jarang kita sadar bahwa kitalah sebenarnya yang telah membunuh bumi. Tempat tinggal kita, tempat di mana Utopia harusnya terbentuk. Jika bumi mati, maka matilah juga peradaban kita (paling tidak, faktanya bahwa kita masih belum mampu tinggal di planet manapun selain bumi). Dan jika itu semua terjadi, tidak akan pernah ada Utopia yang akan terbentuk. Dimanapun di setiap sudut alam semesta.
Mungkin terlalu jauh membicarakan masalah peradaban manusia, planet, alam semesta. Barangkali kita harus kembali ke masalah-masalah sepele seperti membuang sampah. Satu sampah dari satu orang yang tidak terlalu peduli akan mempunyai dampak sistemik yang berkepanjangan. Jika semua orang berpikiran, “ah toh hanya sampah dari satu orang, apa sih akibatnya?” Bayangkan saja apa yang dapat dilakukan oleh 8 juta orang penduduk Jakarta dengan pemikiran seperti itu. Jakarta barangkali akan lumpuh dalam waktu kurang dari satu minggu.
Dalam sebuah tulisan sebelumnya, saya sempat menaruh salut pada salah seorang kawan yang datang di sebuah acara konser di Jakarta Utara (walaupun dia tidak menonton konser itu). Waktu itu siang hari dan kami merasakan lapar. Aku membawa sebuah makanan kecil dengan bungkus plastik. Kuberikan makanan itu ke salah seorang temanku dan setelah selesai memakannya, dia memasukan bungkus plastik itu ke kantongnya. Aku bertanya, mengapa kau melakukan hal itu? Dia jawab, aku mengantonginya dahulu sekalian mencari tempat sampah. Padahal, di sekeliling kami ratusan orang lain makan dan membuang sampah sekenanya.
Untuk membuat dunia yang sempurna, ah bukan, dunia yang nyaris sempurna untuk seluruh umat manusia. Kita tidak membutuhkan manusia super kuat ataupun super cerdas. Kita hanya membutuhkan manusia yang sederhana, yang rela, ataupun yang mau untuk berbuat meskipun itu kecil. Kita tidak tahu akan seperti apa dunia jika setiap individu manusia tidak mempunyai kepedulian, namun kita tahu pasti jika dunia ini akan jauh lebih baik jika kita mempunyai kesadaran masing-masing. Itulah Utopia yang sesungguhnya, barangkali, itulah Utopia yang Plato idam-idamkan beratus-ratus tahun yang lalu.