1984 dan Totalitarianisme

Dalam novelnya 1984, George Ormwell menceritakan sebuah alternatif sejarah yang cukup menarik untuk dibahas. Sebuah dunia dimana Perang Dunia 1 tidak pernah benar-benar berakhir. Alih-alih terjadi perdamaian seperti yang ada di dunia kita. Negara-negara di dunia Ormwell justru saling melebur menjadi 3 negara besar, Oceania, Eurasia, dan Eastasia.

Ketiga negara besar dunia nyaris mempunyai kekuatan yang seimbang baik dari segi kekuatan manusia maupun sumber daya alam. Perang diantara ketiga negara tersebut terjadi secara konstan. Namun tak ada pertempuran yang benar-benar memberikan dampak signfigikan. Bebeberapa pertempuran bahkan dilakukan di zona-zona netral. Jawa misalnya digambarkan sebagai sebuah tempat yang terus berpindah tangan. Kadang berada di bawah kekuasaan Eastasia, terkadang berada di bawah kekuasaan Oceania.

Pertempuran antara ketiga negara besar itu dilakukan secara “setengah hati”. Tidak ada pertempuran yang benar-benar “decisive”. Tidak ada juga pertempuran yang bertujuan menghancurkan secara menyeluruh pihak lawan seperti pertempuran-pertempuran di Perang Dunia 1 atau Perang Dunia 2. Tidak ada juga pertempuran yang bertujuan menguasai wilayah pihak lawan secara permanen. Yang ada hanyalah pertempuran-pertempuran yang dilakukan seadanya. Satu wilayah direbut untuk waktu tertentu, dan kemudian wilayah itu direbut oleh pihak lawan di kesempatan lain.

Mengapa tidak ada pertempuran signifikan di dunia dengan 3 kekuatan besar ini?

Karena ketiga negara tersebut secara individu sudah mampu berdiri sendiri. Ketiga negara tersebut mempunyai resource Utopis yang membuat mereka tidak memerlukan interaksi pertukaran barang antar negara. Apakah skenario tersebut benar-benar terjadi di dunia ini mungkin bukan sebuah “concern” yang patut dibicarakan panjang lebar di sini. Yang lebih menjadi concern adalah isolasi ketiga negara tersebut yang membuat rakyatnya buta akan pemerintah mereka sendiri.

Negara yang menganut totalitarianisme biasanya berusaha menutup diri dari dunia luar. Perdagangan berlangsung secara minim, seminimal mungkin. Sikap menutup diri ini dilakukan agar rakyat tidak mengatahui apa yang terjadi di luar sana. Dengan begitu rakyat negara totalitarisme tidak akan mengetahui betapa berbedanya kehidupan di lingkungan negara mereka dibandingkan dengan lingkungan negara lain.

Sikap tertutup negara totalitarianisme dalam jangka waktu tertentu memang kadang berhasil. Namun terkadang sikap itu juga yang membuat negara totalitarianisme menemui kehancurannya. Tanpa adanya perdagangan yang memadai, biasanya negara tertutup akan kekurangan setidaknya beberapa kebutuhan pokok mereka. Faktor itu belum ditambah lagi dengan bencana alam seperti gagal panen, kekeringan, atau bencana-bencana lain. Hal itu menyebabkan “black market” merajalela.

Merajalelanya “black market” membuat kedaulatan negara dalam mengatur wilayahnya berkurang. Jika kedaulatan negara berkurang, maka hubungan kepercayaan rakyat dengan pemerintah akan turut berkurang. Berkurangnya hubungan pemerintah dengan rakyat ini membuat legitimasi sebuah pemerintahan perlahan hancur. Dan jika legitimasi sudah tidak ada, entah pemberontakan, perang saudara, atau penggulingan kekuasaan bakal terjadi. Terkadang ketiga skenario itu terjadi secara bersamaan.

Kembali ke novel 1984, black market antar negara hampir tidak mungkin untuk dilakukan. Ada beberapa alasan mengapa “black market” itu tidak terjadi. Pertama, setiap negara sudah cukup besar untuk mencukupi kebutuhannya. Mereka tidak memerlukan impor atau ekspor bahan apapun, terutama bahan-bahan pokok. Kedua, negara-negara tersebut adalah negara otoriter dimana barang-barang luxury yang nyleneh kemungkinan memang tidak diproduksi, atau lebih tepatnya diperlukan. Ketiga, inovasi di negara otoriter biasanya memang seret. Jadi, selain kebutuhan pokok, tidak terlalu banyak pengembangan industri.

Jadi penyelundupan barang atau kebutuhan untuk mengambil barang dari luar negara mereka adalah hal yang mungkin tidak diperlukan. Ini tentu saja berbeda dengan misalnya Kuba atau Korea Utara. Dimana “black market” merajalela, dan barang-barang yang bahkan mungkin pokok harus didatangkan dari tempat lain.

Di dalam novel 1984, kekuatan negara atau di Oceania disbut dengan “Big Brother”, begitu melekat dalam kehidupan masyarakat. Seluruh aspek kehidupan masyarakat dipengaruhi atau justru hingga dikontrol oleh negara. Misalnya saja, pekerja departemen A akan mendapatkan tempat tinggal di residen A. Mereka akan mendapat jatah makanan apa, dan terutama mendapatkan fasilitas hidup apa. “Big Brother” juga mengawasi setiap gerak-gerik masyarakat lewat penyadap telepon, pesawat televisi, dan mungkin sejenis cctv yang ada di jalanan. Pengawasan ini begitu ketat, bahkan tokoh utama di dalam 1984 juga harus berfikir beberapa kali untuk sekedar melewatkan acara televisi.

Jika hidup dalam tekanan dan kekangan, mengapa orang-orang yang tinggal di Oceania tidak pergi dari negara itu dan menetap di tempat lain?

Ingat, Dunia hanya ada 3 negara di dalam skenario 1984 dan semua negara itu bersifat totalitarian. Di dunia nyata, ketika seseorang lari dari Korea Utara ke Korea Selatan misalnya, mereka akan mendapati sebuah kultur, penghidupan, dan gaya politik yang berlainan. Namun di 1984, ketika mereka lari dari satu negara ke negara lain, mereka akan mendapati situasi politik yang sama. Negara mengontrol segalanya. Sama seperti pepatah, keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya. Kecuali mereka mau hidup secara desolate di tapal-tapal batas negara yang tanpa pemerintahan, tanpa hukum, dan tanpa jaminan hidup. Lebih dari itu, masyarakat Oceania sendiri hidup dalam delusi. Bukan hanya delusi secara politik, namun juga delusi secara realita kehidupan.

Di dalam negara totalitarian, negara mengontrol setiap pengetahuan. Realita dan ilmu pengetahuan menjadi semu dan semua bekerja untuk kepentingan negara. Sejarah menjadi rancu, atau malah sama sekali tidak ada. Salah satu quote yang menarik di dalam novel 1984 adalah “Who controls the past controls the future. Who controls the present controls the past.” Dan quote tersebut benar-benar bekerja.

Salah satu contoh, Oceania kerap berperang dengan Eurasia dan beraliansi dengan EastAsia. Namun ada kalanya mereka berperang dengan EastAsia dan beraliansi dengan Eurasia. Di kala pergantian aliansi itu terjadi, sejarah tentang peperangan sebelumnya akan dihapus sehingga seolah-olah dari dahulu Oceania beraliansi dengan EastAsia atau Eurasia secara terus-menerus. Dan rakyat yang tanpa punya alternatif sumber informasi lain selain yang diberikan pemerintah akan dipaksa untuk percaya akan hal itu.

Jadi apa pilihan rakyat ketika mereka sama sekali tidak mempunyai pilihan untuk hidup lebih baik?

Inilah yang menarik dari novel 1984. Novel ini tidak mengajarkan sebuah revolusi, atau pemberontakan terhadap negara yang bersifat otoriter. Tokoh utama di dalam novel ini memang sempat terpikir untuk melepaskan diri dari kekangan pemerintahan. Ia jatuh cinta dengan seorang gadis. Dan untuk sesaat mereka ingin hidup terpisah dari pemerintahan. Namun toh, si tokoh utama menyerah terhadap keadaan. Ia akhirnya pasrah, dan memilih untuk hidup mengikuti arus.

Inilah yang barangkali sering terjadi di negara-negara totalitarian. Mereka tidak mempunyai pilihan untuk hidup lebih baik. Karena yang mereka tahu adalah negara yang mereka tinggali sekarang. Barangkali itulah yang terjadi di banyak negara sekarang ini. Bukan berarti rakyat di negara terkukung tidak ingin hidup lebih layak, lebih bebas, lebih maju, mereka hanya tidak mampu untuk berbuat apapun.

Satu hal yang pasti, hidup di sebuah negara totalitarian itu adalah hal yang sulit. Bisa-bisa nyawa adalah taruhannya. Bersyukur kita hidup di alam demokrasi, walaupun demokrasi Indonesia masih banyak yang harus diperbaiki. Kita sudah lama hidup di bawah kekuatan rezim yang mengekang. Tidak seharusnya kita mendambakan untuk kembali di kehidupan seperti itu.

 

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.