Selama Perang Dunia ke 2, baik pihak sekutu maupun axis mencoba untuk melakukan manuver-manuver diplomatis. Kawan menjadi lawan, dan lawan menjadi kawan adalah sebuah hal yang biasa. Di sini saya mencoba menganalisa bagaimana manuver diplomasi Hitler di era itu yang ternyata gagal dan akibatnya bagi Jerman selama perang.
Dari beberapa kesalahan atau sitidaknya kegagalan manuver diplomatik yang Hitler lakukan, saya mencoba merangkum 5 diantaranya yang berakibat fatal. Berikut adalah 5 kesalahan diplomasi yang Hitler lakukan:
Mangabaikan Opini Penduduk Soviet Terhadap Stalin

Keputusan-keputusan politik yang diambil oleh Stalin tidak berpihak ke seluruh penduduk Soviet. Di Ukraina misalnya, pada tahun 1932-1933 terjadi kelaparan hebat yang disebut Holodomor. Penyebab utama dari kelaparan hebat ini masih diperbincangkan sampai sekarang. Namun bencana alam seperti kekeringan dan juga ekonomi yang buruk bagi sebagian peneliti bukanlah faktor utama. Mereka lebih percaya jika Holomodor sengaja dilakukan oleh Stalin untuk mengurangi jumlah penduduk Ukraina saat itu. Alasannya agar menekan jumlah gerakan resistensi di Ukraina yang meminta kemerdekaan. Hasilnya, antara 2.5 juta hingga 7.5 juta orang tewas akibat kebijakan tersebut.
Ketika Hiter menyerbu Soviet, pasukannya dianggap sebagai pembebas di beberapa negara. Di negara-negara Baltik yang mempunyai kedekatan darah dengan Jerman, penduduk mereka berpesta dan menyambut kedatangan Wehrmacht dengan karangan bunga. Namun sayang, kebijakannya tidak berlanjut ke masyarakat Ukraina, Belorusia dan negara-negara dibawah kontrol Soviet lainnya. Hitler mengganggap mereka sebagai negara jajahan, kurang lebih sama dengan yang Stalin lakukan. Seperti keluar dari mulut singa masuk ke mulut buaya. Beberapa negara bahkan lebih memilih untuk kembali ke pangkuan Soviet. Setidaknya, mereka masih sama-sama bangsa Slavia. Bukan bangsa ‘untermehnen’ seperti yang Jerman anggap.
Jika saja, Hitler mau sedikit berbelas kasih dengan bangsa-bangsa Slavia di timur, dan menjanjikan kemerdekaan bagi mereka setelah perang usai. Walaupun kemerdekaan itu hanyalah status sebagai negara satelit. Maka kemungkinan besar dukungan bagi bangsa-bangsa Slavia itu akan sangat berarti untuk menumbangkan rezim Bolshevik. Ukraina sendiri berpenduduk 30 juta jiwa di kala itu, belum lagi ditambah dengan negara-negara satelit Soviet lainnya. Jika dukungan jumlah penduduk itu dapat (setidaknya) membantu Jerman dalam mengatasi kekurangan sumber daya manusia di timur, maka tidak menutup kemungkinan jika kemenangan atas Soviet dapat diraih dengan mudah.
Gagalnya Kesepakatan Dengan Spanyol

Spanyol terbagi menjadi dua selama perang saudara dari tahun 1936 hingga 1939. Terdapat kubu Republik yang dibantu oleh Inggris, Perancis, dan Soviet. Dan satu lagi adalah kubu Nasionalis pimpinan Jendral Frasisco Franco yang dibantu oleh Italia dan Jerman. Kedua pendukung kubu saling memberikan support mereka dengan mengirimkan senapan, tank, pesawat terbang, pelatihan pasukan, dan bahkan prajurit. Jerman sendiri terlibat dalam konflik ini, salah satu pasukan yang dikirimkan Jerman adalah Condor Legion. Condor Legion adalah kesatuan sukarela (volunteers) yang terdiri dari angkatan darat (Heers) dan angkatan udara (Luftwaffe).
Hasil perang saudara adalah kemenangan di kubu Nasionalis dan berdirinya rezim Franco. Ketika perang Dunia 2 pecah setahun kemudian, sekutu was-was jika sampai Spanyol bergabung dengan Hitler dan membuat Perancis harus bertempur di dua kubu. Namun agaknya ketakutan itu tidak terbukti. Spanyol tetap mempertahankan netralitas mereka, walaupun mereka mempunyai hubungan diplomatik yang dekat dengan Jerman. Alasannya, “kami masih membangun negeri kami seusai perang saudara yang berkepanjangan.”
Pada 23 Oktober 1940, Hitler mengajak Franco untuk bernegosiasi dengannya di Hendeye, Perancis. Tujuan pembicaraan itu agar Spanyol mau bergabung dengan Axis dan memperbolehkan pasukan khusus Jerman untuk menginvasi Gibraltar. Gibraltar sendiri, menurut Hitler akan diserahkan ke Spanyol setelah invasi berhasil dilakukan. Akan tetapi Franco menolak, ia menganggap negaranya belum siap untuk head-to-head dengan Inggris. Hitler bahkan pernah mengatakan “I would rather have four of my own teeth pulled out than go through another meeting with that man again!”. Karena keras kepalanya Franco waktu berdiskusi dengan Hitler.
Gagalnya Kesepakatan Dengan Turki

Turki adalah mitra Jerman yang penting bahkan semenjak berakhirnya Perang Dunia 1. Sebagian besar eksport Jerman terutama senjata dikirimkan ke negara ini. Namun aliansi Jerman dan Turkey tak pernah dibicarakan hingga tahun 1942. Pada waktu itu, Franz von Papen, menteri luar negeri Jerman berharap agar Turki mau bergabung dengan Jerman dan membuat pasukan Jerman lebih mudah merebut Kaukasus. Namun sayang, mundurnya pasukan Jerman dari Stalingrad membuat Turki gentar.
Negosiasi Jerman dan Turki sebenarnya kepalang terlambat. Jika saja lebih awal, Turki tidak saja membuka kesempatan untuk merebut Kaukasus dan ladang minyak yang berharga di Baku. Turki juga dapat membatu Deutche Afrika Korps untuk menembus pertahanan Inggris di Mesir. Selain itu, gerakan pan arab di Irak, Syiria, dan Jerusalem yang condong ke Jerman-pun akan dapat tertolong.
Jerman dan Turki memang menandatangani perjanjian non agresi selama Perang Dunia 2. Ini untuk menjaga agar Turki tidak menjadi sasaran Jerman setelah kejatuhan Bulgaria dan Yunani. Dan juga bagi Jerman agar sekutu tidak dapat menggunakan Turki sebagai batu loncatan untuk menginvasi Eropa daratan.
Deklarasi Perang Terhadap Amerika Serikat

Setelah Jepang menyerang Pearl Harbor, Jerman menunggu Amerika Serikat untuk mendeklarasikan perang terhadapanya. Namun deklarasi perang itupun tak kunjung datang. Hitler dengan tanpa melakukan konsultasi terhadap parlemen akhirnya menyatakan perang terhadap negara Paman Sam tersebut pada tanggal 11 Desember 1941. Ia berharap, jika Jerman mau menemani Jepang untuk memerangi Amerika Serikat, maka Jepang juga akan sukarela menemani Jerman menggempur Uni Soviet. Namun dukungan itu tak kunjung datang dan Jerman justru harus menghadapi 2 negara titan.
Deklarasi terhadap Amerika Serikat bukanlah sebuah kesalahan fatal, karena toh negara itu pasti akan menyatakan perang juga terhadap Jerman. Namun memastikan Jepang bergabung dengan kampanye-nya di Soviet adalah urusan lain. Jerman seharusnya mampu memastikan jika Jepang mau bergabung dengannya. Dengan konsentrasi yang terpecah, maka kemungkinan kekuatas Soviet akan terpecah menjadi 2.
Memilih antara China dan Jepang

Jerman memberikan bantuan militer kepada China sejak tahun 1920-an hingga 1930-an. China (terutama Nasionalis China) yang dipimpin oleh Kuomintang membutuhkan modernisasi pasukan dan industrinya setelah kejatuhan Dinasti Qing di 1912. Apalagi dengan terus berkembangnya kekuatan Jepang di Asia Timur. Jerman di sisi lain juga membutuhkan suplai bahan mentah yang stabil dari China. Mereka yang baru saja kalah di Perang Dunia 1 juga membutuhkan pengakuan dunia, bahwa mereka masih mempunyai taring.
Setelah NAZI berkuasa, hubungan China dan Jerman masih berlangsung baik. Hitler bahkan mengirimkan utusan yang bernama Hans von Seeckt untuk merepresentasikan kehadiran Jerman di China. Hitler juga mengirimkan Jendral Alexander von Falkenhausen sebagai penasehat Chang Kai Sek untuk mereformasi kekuatan militer China. Ia bertugas di sana hingga tahun 1938.
Sayang sekali hubungan baik China dan Jerman berakhir setelah ageresi Jepang pada 7 July 1937. Hitler lebih memilih Jepang karena dianggap mempunyai kemampuan militer lebih baik dibandingkan dengan China. Terutama untuk menghadapi kemungkinan konflik dengan Uni Soviet di kemudian hari. Lalu apa yang salah dengan keputusan ini?
Alih-alih memilih salah satu pihak, akan lebih baik jika Hitler melakukan mediasi di dalam konflik dua raksaa Asia ini. Jepang di kemudian hari toh terbukti tak mampu menghadapi China karena sumber daya manusianya yang nyaris tak terhingga. Apalagi jika ia harus menghadapi Soviet yang mempunyai kualitas pasukan bermotor jauh lebih baik dari Jepang. Mempunyai dua sekutu di Asia akan sangat mendukung perkembangan Jerman. China dengan resource bahan mentah dan manusianya, sedangkan Jepang dengan teknologinya.
Ini memang hanyalah sebuah perkiraan, kita tidak dapat mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi jika Jerman mampu melakukan mediasi atas konflik China vs Jepan. Namun jika kedua negara itu dapat fokus membantu Jerman menyerang Soviet, babakan perang di timur jelas akan mempunyai cerita yang berbeda.