Pemilu dalam beberapa minggu ke depan barangkali akan menjadi bahan pembicaraan yang hangat atau kalau tidak justru panas di negeri kita. Ratusan atau bahkan ribuan calon legislatif berebut kursi untuk menjadi dewan perwakilan masyarakat baik di daerah maupun di pusat. Sebuah pesta yang meriah, maksudku, ini benar-benar sebuah pesta yang meriah!
Total dana pemilu 2014 mencapai Rp 24 T, sebuah angka yang cukup fantastis bagi saya yang bahkan belum pernah mempunyai angka tabungan yang cukup besar. Dana tersebut belum termasuk dana masing-masing partai dan calon yang akan bertarung di dalam pemilu itu sendiri. Sebuah perputaran uang yang cukup mencenggangkan. Namun, saya tidak akan menuliskan lebih lanjut tentang hitung-hitungan dana tersebut. Karena pertama, saya bukan ahli dalam bidang politik, kedua saya tidak ahli dalam menghitung uang, dan ketiga adalah saya ingin membahas permasalahan yang lainnya.
Di tahun 2009, angka pemilih yang mengikuti pemilu cukup besar, 104 juta orang. Namun, angka tersebut terlihat begitu memilukan ketika disandingkan dengan kata-kata “sementara itu 60,7 juta pemilih lainnya memilih untuk golput.” Jadi, 35% orang yang mempunyai hak pilih memutuskan untuk tidak menggunakan hak suaranya. Saya sendiri termasuk orang yang ikut memilih di dalam pemilu tahun 2009, dan waktu itu saya mempunyai harapan yang cukup besar tentang pergerakan arah negeri ini nantinya. Namun, agaknya saya harus menurunkan drastis harapan saya di waktu itu.
Banyak yang mempertanyakan, apakah golput itu layak di dalam sebuah negara demokrasi seperti Indonesia. Well, tergantung dari perspektif dari masing-masing penjawabnya. Namun, jika kita mengutamakan kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul seperti yang ada di dalam undang-undang dasar. Maka saya akan menjawab bahwa golput itu sebenarnya boleh, dan mungkin malah juga perlu untuk diperhitungkan (dalam artian ditampilkan juga sebagai akumulasi suara – meskipun tidak menjadi bagian dari penentu pemenang pemilu).