Beberapa waktu lalu, saya mendengar rencana Pemerintah Jakarta untuk membangun beberapa rumah susun yang digunakan sebagai kompensasi penggusuran warga di bantaran sungai. Jika rencana itu terlaksana, diharapakan pemukiman-pemukiman kumuh yang ada di seputaran sungai-sungai besar Jakarta dapat dihilangkan. Dan warga yang dahulu menempati rumah-rumah itu dapat dengan tenang bermukim di rumah susun yang disediakan secara gratis atau dengan biaya sewa yang cukup murah.
Rencana diatas terdengar cukup bagus, namun sayangnya banyak sekali aspek yang menurut saya kurang pas. Sekali lagi, tulisan ini adalah pendapat pribadi saya yang mungkin tidak sreg di hati sebagian besar teman-teman pembaca.
Ada pertanyaan mendasar yang bagi saya sangat urgent untuk dijawab, seberapa penting menyediakan hunian pengganti bagi warga bantaran sungai yang datang secara ilegal dan mungkin juga tidak mempunyai tujuan hidup yang jelas? Apakah kebijakan itu tidak terlalu berlebihan dan terkesan memberikan welas asih yang berlebihan kepada pihak yang salah?
Warga di bantaran sungai sebagian besar tidak mempunyai mata pencaraharian yang tetap. Dan mereka juga mungkin tidak mempunyai tujuan yang jelas mengapa harus menetap di Ibukota. Ada dari mereka yang hanya ikut-ikutan saudara yang lebih dulu hijrah ke ibukota dengan alasan yang kurang lebih sama tidak jelasnya. Alih-alih memberikan fasilitas yang berlebihan bagi warga itu, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan kaum-kaum pekerja yang terpaksa hijrah puluhan kilometer setiap harinya dari rumah ke tempat kerja mereka.
Sebagian besar kaum buruh, profesional, dan tenaga pemerintah tinggal jauh dari pusat kota. Mereka tinggal di kota-kota satelit Jakarta seperti Depok, Bekasi, dan Tangerang. Artinya mereka harus menempuh perjalanan jauh dari rumah ke tempat mereka bekerja. Perpindahan sekian juta orang setiap pagi dan petang di Jakarta adalah sebuah hal yang sebenarnya sia-sia. Jika saja ada hunian yang layak di tengah kota, meskipun itu berbentuk rumah susun atau apartemen sederhana, maka tentu saja pergerakan manusia di Jakarta akan lebih praktis dan efisien.
Sampai saat ini saya rasa tidak ada usaha riil dari pemerintah, baik kota maupun pusat, untuk menata area pemukiman di Jakarta. Saya yang hampir tiga tahun tinggal di kota ini merasakan sekali bahwa pembangunan Jakarta layaknya sebuah pesawat yang terbang ‘auto pilot.’ Tidak ada pembagian yang jelas, mana kawasan pemukiman, mana kawasan komersial. Jalan-jalan dibuat dengan sembarangan dan terkadang berukuran sangat amat sempit. Angkutan umum andalan seperti Transjakarta dan Kereta Listrik disediakan dengan jumlah yang sangat kurang serta datangnya tidak tepat waktu. Pemilihan halte juga terkadang tidak tepat, jauh dari pusat keramaian atau juga susah diakses. Angkutan umum kelas dua seperti kopaja dan angkot sudah berusia tua, bobrok, dan menjadi sarang para pencopet.
Pembangunan MRT yang digadang-gadang akan mengatasi kemacetan Jakarta yang sudah super parah justru menambah beban kemacetan yang makin luar biasa. Sebuah usaha yang telat puluhan tahun ini harus memaksa warga ibukota untuk kehilangan sepertiga luas jalan protokolnya di sepanjang Sudirman Thamrin. Sebuah jalan yang paling mempunyai kesibukan di ibukota, lebih dari jalan-jalan manapun.
Pembangunan MRT juga mengharuskan pejalan kaki untuk merelakan trotoar mereka dipangkas dengan begitu signifikan. Ketika pertama datang ke Jakarta, saya cukup kagum dengan keadaan trotoar Jl. Sudirman yang dibuat luas dan rapi. Namun, trotoar itu sekarang tinggal seperti puing-puing yang acut kabrut. Belum lagi ketika hujan melanda, trotoar akan menjadi bendungan-bendungan kecil yang becek. Pedagang-pedagang kaki lima di sepanjang jalan memang ditertibkan, namun penertiban setengah hati itu paling hanya akan mempan dalam waktu seminggu. Setelah itu ruas-ruas trotoar akan kembali dipenuhi penjual-penjual liar.
Bagaimana orang mau pindah ke angkutan umum jika akses keangkutan umum itu sendiri masih begitu sulit. Trotoar masih terkesan kumuh dan banyak sekali diisi pedangang asongan. Tidak ada penerangan yang memadahi di trotoar sepanjang malam. Dan berbagai kerawanan keamanan masih menghantui. Belum lagi jumlah armada yang masih terbatas. Bayangkan saja, saya pernah mengantri bus transjakarta hingga 30 menit lebih lamanya. Padahal jika dipikir-pikir, bus transjakarta sudah punya jalur sendiri yang seharusnya netral dari bahaya kemacetan.
Pemerintah juga mencoba mencanangkan Jakarta sebagai kota modern internasional. Namun jika kita mencoba untuk mengamati Jakarta dari jarak dekat, kota ini tidak lebih dari bangunan-bangunan yang tidak mempunyai konsep. Untuk sampai dari satu tempat ke tempat lain dibutuhkan sebuah usaha yang sangat keras. Jalanan dibuat rumit dan susah sekali untuk diakses. Coba saja bayangkan, jika anda ingin ke Stasiun Gambir atau Pasar Senen. Anda harus menggunakan angkutan umum apa?
Tilik sejenak tetangga dekat kita Singapore yang bisa dijadikan contoh. Saya tidak berharap Jakarta menjadi kota yang semodern dan semegah itu, tapi setidaknya, sebuah metropolitan butuh angkutan umum yang terkonsep seperti Singapore. Ketika anda turun dari bandara, dengan menggunakan MRT anda sudah bisa sampai ke tengah kota tanpa masalah. Stasiun MRTpun diletakan pada lokasi yang sanagat dekat dengan pusat-pusat keramaian sehingga memudahkan warga untuk melakukan perjalanan dari satu tempat ke tempat lain tanpa perlu kendaraan pribadi. Daerah-daerah sibuk seperti Orchad dan Marina dapat diakses dari beberapa stasiun kereta. Bandingkan dengan daerah Sudirman yang hanya mempunyai satu buah stasiun kereta KRL.
Pembenahan-pembenahan wilayah seperti waduk Ria Rio dan penataan taman kota itu bagus. Tapi siapa yang bakal mengaksesnya? Taman Semanggi di pusat kota misalnya. Dibuat di tengah-tengah lingkar semanggi yang tidak punya akses bagi pejalan kaki untuk melewatinya. Jadi, siapa yang bisa menikmati keindahan semanggi? Apakah hanya mobil-mobil yang lewat?
Ruang terbuka di Jakarta kalau tidak boleh dibilang minim malah bisa dikatakan tidak ada. Orang yang ingin berekreasi harus berjauh-jauh ke arah Ancol, TMII, atau Bogor. Itupun akses angkutan umum masih sangat sulit. Hanya ada satu koridor ke Ancol, yang melewati daerah Senen yang padat pedagang.
Jalan Jakarta menjadi kota metropolitan yang layak dan modern seperti Singapore atau Tokyo atau kota-kota metropolitan besar dengan jumlah penduduk yang tak kalah besarnya memang masih sangat amat jauh. Angkutan umum, tata kelola, dan fasilitas umum masih sangat jauh dari memadahi. Perumahan di tengah kota yang berguna untuk menampung para pekerja profesional masih sangat amat sedikit.
Namun, bukan sebuah kemustahilan kalau Jakarta suatu saat dapat memperoleh predikat sebagai kota metropolitan yang indah dan nyaman. Selain waktu, pemerintah butuh keseriusan yang lebih. Jakarta sedang sekarat dalam hal penataan kota, butuh sebuah treatment yang intensif. Jika keseriusan itu ada, maka saya yakin dalam 10-20 tahun kedepan Jakarta mampu berubah wajah.