Jakarta sebagai pusat pemerintahan sekaligus ekonomi Indonesia mempunyai penyakit menurun yang sudah kritis. Penyakit itu adalah kemacetan, yang boleh dibilang telah menjadi pemandangan sehari-hari dan bahkan dianggap wajar oleh sebagian besar penduduk ibukota. Inovasi-inovasi coba digelontorkan, namun nyatanya sampai detik ini tak ada obat mujarab yang jitu untuk mengatasi kemacetan Jakarta.
Pertanyannya adalah, apakah ada kota-kota di dunia ini yang penduduknya banyak namun tidak macet? Jawabannya adalah Ya, dan ternyata kota-kota seperti itu banyak di dunia ini. Salah satu yang paling dekat adalah Singapore, yang sedikit jauh namun masih dapat kita contoh adalah Seoul dan Tokyo. Khusus untuk Singapore, kita seharusnya dapat belajar banyak dari kota sekaligus negara tetangga itu yang dapat dikunjungi hanya dengan tiket pesawat seharga 300 ribu, plus tanpa visa. Tiket itu kurang lebih harganya sama dengan tiket kereta api saya untuk pulang kampung.
Di bawah ini saya mencoba merangkum beberapa sebab mengapa kemacetan Jakarta kian hari makin parah saja. Pernyataan saya ini murni pengamatan seorang amatir dan bukan komentar ahli tata ruang kota. Jadi mohon maaf sebelumnya jika dirasa banyak kekurangan di sana-sini. Namun saya mencoba untuk tetap seakurat mungkin, seobyektif mungkin, dan se to-the-point mungkin – berdasarkan pengalaman pribadi dan kegiatan sehari-hari saya di kota ini. Berikut beberapa penyebab semakin ruwetnya kemacetan Jakarta dari kacamata pribadi saya:
1. Pejalan Kaki Belum Menjadi Raja
Mengapa Jakarta macet? Jawaban yang paling mudah adalah banyaknya kendaraan bermotor pribadi yang berlalu lalang. Coba saja jika orang tidak menggunakan kendaraan pribadi. Jalanan pasti terasa lenggang dan sepi. Ini bukan sebuah pernyataan lelucon, dan juga bukan sebuah konotasi maupun sarkasme. Dan mengapa orang memilih untuk menggunakan kendaraan bermotor daripada jalan kaki atau menggunakan angkutan umum? Itu karena pejalan kaki masih dianggap sebagai orang nomor sekian derajatnya dibandingkan dengan orang yang menggunakan kendaraan bermotor pribadi.
Di Jakarta, fasilitas yang digunakan pejalan kaki sangatlah minim. Trotoar sempit, rusak, atau bau karena ia hanya berfungsi sebagai pentup got. Tempat penyeberangan dibuat susah, atau dibuatkan jembatan penyeberangan yang sebenarnya sangat menyiksa para pejalan kaki. Entah mengapa Jakarta begitu hobi membuat jembatan penyeberangan – sebaliknya, tempat penyeberangan yang nyaman justru dibredel se-sedikit mungkin. Tidak ada tempat penyeberangan yang menggunakan timer, seperti di negara2 maju. Satu tempat penyeberangan yang pernah saya temui dengan menggunakan timer hanya ada di daerah sekitar monas. Entah apa fungsinya disana, karena pada jam sibuk, orang justru tidak ada yang menggunakan fasilitas itu.
Selama pejalan kaki masih belum dijadikan raja, maka orang tentu akan malas dan lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi. Dan orang masih mengganggap bahwa menggunakan kendaraan pribadi itu lebih mentereng. Ini bukan berarti pejalan kaki adalah orang yang malas atau manja. Orang yang memilih berjalan kaki tentu bukan orang yang malas karena ia mau sedikit berpeluh keringat untuk menjalani aktivitasnya. Sedikit kemudahan fasilitas tentu akan meringankan beban orang tersebut. Dan semakin banyak orang yang berjalan kaki, tentu kemacetan Jakarta akan sedikit dapat diatasi.
2. Angkutan Umum Yang Tidak Memadahi dan Reyot
Masih berhubungan dengan penyebab sebelumnya, dan salah satu mengapa pejalan kaki masih belum dikatakan sebagai raja adalah minimnya sarana transportasi umum. Saya membandingkan dengan Singpore, yang kebetulan pernah saya kunjungi. Transportasi umum di sana sangat “pejalan kaki” friendly. Transportasi umum dibuat sangat terintegrasi, berkualitas baik (tidak reyot maupun karatan seperti kopaja), dan aksesnya dekat dengan pusat keramaian.
Dengan segala kelebihan transportasi umum itu, orang secara otomatis akan enggan menggunakan kendaraan pribadi. Dan meskipun di jam sibuk, jalanan kota di Singapore nampak tidak padat. Orang lebih memilih menggunakan Bus (LRT) ataupun kereta (MRT) untuk ke tempat kerja, maupun belanja. Di Jakarta, jangankan dekat dengan pusat keramaian, akses ke angkutan umumpun sulit. Moda transportasi satu dengan yang lain tidak terintegrasi dengan baik. Misalnya saja, keluar dari stasiun KRL, belum tentu ada Transjakarta dalam radius 1 km di sekitarnya. Sungguh keadaan yang sangat aneh bukan?
Keadaan yang aneh itu ditambah dengan jarangnya angkutan umum itu ada. Di jam sibuk, angkutan umum seperti Transjakarta dapat berjarak setengah jam antara satu dengan yang lain. Tentu jarak waktu setengah jam bukanlah sebuah jarak yang ideal. Orang bisa saja telat, melewatkan acara penting seperti meeting dengan klien dan lain sebagainya. Memang perubahan dan perbaikan sudah dilakukan di sana-sini. Apresiasi memang patut diberikan atas usaha ini, namun hasilnya yang saya lihat dalam kegiata sehari-hari belumlah optimal.
3. Rusaknya Tata Kota
Satu hal yang saya rasakan janggal di Jakarta adalah tata kota yang aneh. Contoh yang paling kentara seperti saya sebutkan diatas adalah penataan jalur transportasi. Dan contoh2 lain yang sebegitu banyaknya mungkin dapat menjadikan tulisan saya ini sebagai tesis. Okelah, kita coba cari contoh dengan skala yang agak besar.
Di Jakarta, pembagian wilayah komersial, residental, maupun industri boleh dikata kacau balau. Wajarnya, daerah komersial ataupun perkantoran dipusatkan di tengah kota atau daerah dengan akses mudah. Kemudian residental dibangun di sekitar area komersial sehingga orang tidak kesulitan untuk pergi ke tempat kerja maupun belanja. Daerah industri dibangun untuk menyokong daerah komersial namun dibangun di tempat yang dekat dengan akses keluar kota, entah itu jalan tol maupun pelabuhan. Setidaknya itulah yang saya pelajari dari Sim City maupun City Skylines (maaf jika saya sok tahu).
Wilayah komersial di Jakarta boleh dikatakan dibangun secara acak. Asal ada jalan raya yang mungkin memudahkan pengendara bermotor mengaksesnya, maka dibangunlah pusat komersial di sana. Sementara itu residental tersebar dimana-mana. Tidak ada konsep pembangunan yang jelas, misalnya di tengah kota sewajarnya dibangun apartemen-apartemen agar penduduk Jakarta tidak mencari pemukiman di luar kota (wilayah penyangga). Apartemen di sini tidak perlu apartemen yang mahal, dan selama ini saya melihat kesalahan konsep orang Jakarta kalau apartemen itu mahal, tak berguna, dan hanya dimiliki orang kaya. Padahal apartemen adalah solusi jitu agar mobilisasi penduduk ibukota tidak masif dari luar jakarta. Ini saya rasa dapat mengurangi kemacetan ibukota secara siginifikan.
4. Sedikitnya Jalan Raya
Jakarta yang berpenduduk jutaan jiwa ini hanya sedikit mempunyai jalan raya yang berstandar baik. Lihat saja Jalan Sudirman, Tamrin, atau Jalan-Jalan di sekitar Kuningan. Jika anda keluar sedikit saja dari jalan-jalan protokol itu, maka yang anda temui adalah jalanan sempit yang tak teratur. Tol memang sedikit membantu mengatasi kemacetan, namun itu hanya berguna untuk arah keluar atau masuk ibukota. Di dalam, neraka jalanan sudah menanti dan siap menyergap.
Jalanan di tengah kota mungkin cukup lebar, namun semakin jauh dari tengah kota Jakarta, jalanan menjadi menyempit dan terkesan tak teratur. Jakarta seperti kota dengan konsep pembangunan Desa, Let it goo. Biarkan berkembang sekenanya, tanpa ada pengaturan yang tepat. Jika ini dibiarkan, maka semakin lama jalanan di Jakarta seperti jalanan tikus, yang banyak, berliku-liku, namun sangat sempit. Sangat tidak ideal untuk perpindahan orang dan barang dalam skala besar.
5. Banyak Kepentingan Yang Bermain
Sudah menjadi rahasia umum kalau Jakarta ibarat kue tart yang menarik bagi banyak semut. Kemacetan Jakarta-pun bukan bagian yang terpisah dari kenyataan tersebut. Terlalu banyak kepentingan yang ikut andil dan menyebabkan benang yang sudah ruwet itu semakin tak mampu diuraikan.
Salah satu hal yang paling kentara adalah, rusaknya angkutan umum di Jakarta. Banyak angkutan umum yang sudah reyot dan tidak layak untuk digunakan lagi, sebut saja angkuta umum Kopaja dan Metromini. Kecelakaan angkutan umum tersebut juga kerap kali terdengar di media. Seharusnya, transjakarta mampu menggantikan keberadaan aramada-armada reyot itu. Namun sepertinya, angan-angan itu masih jauh lantaran jumlah armada transjakarta sendiri masih belum memenuhi kuota minimum.
Trotoar yang rusak juga menjadi sorotan. Pengembang yang sering melakukan galian diantara trotoar itu sering melakukan konstruksi tanpa mengembalikan trotoar ke bentuk semula. Belum lagi trotoar yang memang dari awal dibangun dengan dana sangat minim, kualitas buruk, dan tanpa perencanaan.
Tulisan ini tidak bertujuan untuk menghujat siapapun. Ini hanyalah sekedar buah dari pengamatan dan keluh kesah sebagain orang yang saya kenal tinggal di sini. Sebagai pusat Indonesia, dan mungkin pusat Asia Tenggara di masa mendatang. Sudah sepatutnyalah kota ini perlu berbenah diri secepat dan seefisien mungkin. Pada beberapa tahun terakhir ini, perbaikan memang banyak dilakukan di sana-sini. Namun perbaikan itu belumlah cukup untuk mengatasi seluruh permasalahan transportasi Jakarta. Perlu sebuah solusi yang mumpuni, sebuah solusi yang kill them all! Saya berharap, pemerintahan Jakarta sekarang lebih baik dari sebelumnya, dan nanti lebih baik dari sekarang. Sehingga semua permasalahan ibukota, yang salah satunya kemacetan, dapat diatasi sebaik mungkin.
Seharusnya kita mulai beralih ke kendaraan umum yang di sediakan pemerintah