Banyak orang mengira Partai NAZI berkuasa di Jerman dengan jalan revolusi atau kudeta seperti yang terjadi pada komunisme di Soviet. Tapi pada kenyataannya tidak seperti itu. NAZI mendaki tampuk kekuasaan lewat jalan yang legal. Ia memenangkan pemilu Jerman pada Juli 1942, November 1942, dan Maret 1943. Yang terakhir membuat NAZI memenangkan 43% kursia, dan (bersamaan dengan kematian Ludendorff) membuat Hitler menjadi Presiden + Perdana Menteri Jerman. Atau dengan kata lain, Fuhrer.
Dalam sejarahnya, Partai NAZI memang pernah melakukan pemberontakan. Pada 8 November 1923 Hitler memutuskan untuk melakukan Long March seperti yang dilakukan oleh Benito Mussolini pada 1922. Namun malang, pemberontakan yang hanya didukung oleh 2,000 anggota militer tersebut gagal. Bahkan, 16 anggota partai terbunuh. Hitler sendiri harus mendekam di dalam penjara, dan di sana, ia menuliskan sebuah buku yang akan menjadi “kitab-nya” orang-orang Nasional Sosialis di tahun mendatang. Buku tersebut berjudul Mein Kampf, Perjuanganku.
Fenomena kemangan NAZI di dalam pemilu Jerman sebenarnya adalah sebuah fakta yang menarik. Sebuah rezim demokratis Jerman mampu menghasilkan sebuah rezim diktator yang bisa dikatakan salah satu yang terkejam dalam sejarah manusia. Kita jadi bertanya-tanya, apa yang salah dengan sistem Jerman di kala itu?
Jerman di tahun 1920an dan awal 1930an adalah sebuah medan pertempuran bagi ideologi-ideologi baru. Sosialisme dan ultra-nasionalisme berkembang dengan pesat. Para pendukungnya bahkan saling baku hantam di jalanan-jalanan kota besar di negara yang baru saja kalah dalam Perang Dunia 1 itu. Tentara yang kurang baik dalam segi jumlah dan moral membuat keamanan tak dapat dikendalikan. Akibatnya, partai-partai membentuk satuan para-militernya sendiri. Para bodyguard tukang gebuk ini nantinya menjadi ujung tombak bagi para partai untuk mengintimidasi anggota partai lainnya dan untuk menunjukan taring, siapa partai paling berkuasa. Sturmabteilung dan Rotfrontkämpferbund adalah dua contoh paramilitary yang paling menonjol kala itu, masing-masing dimiliki oleh NSDAP (atau NAZI) dan KPD partai beraliran komunis. Tak jarang dua paramiliter itu saling baku hantam di tempat umum, seperti tawuran anak SMA yang sering kita baca di koran-koran.
Jerman adalah salah satu negara paling berliterasi di tahun 1930an, namun mengapa mereka tidak jengah dengan tindakan beringas para anggota partai baik sayap kanan dan kiri?
Sebagian rakyat Jerman memang mengeluhkan tindak-tanduk dari SA, RFB, maupun beberapa paramiliter lainnya. Namun absennya kekuatan militer membuat perkembangan mereka tak dapat dibendung. Faktanya, beberapa veteran eks-militery Jerman kala Perang Dunia 1 adalah motor utama SA dan para militer lainnya. Mereka juga berguna bagi pengamanan wilayah tertentu, industri, dan bahkan orang-orang berkuasa yang berafiliasi dengan partai tertentu. Mengapa pengamanan ini penting?
Secara ekonomi, Jerman dalam keterpurukan di periode tahun 1920an hingga awal 1930an. Dan keterpurukan ekonomi berimbas pada sistem yang lain, salah satunya keamanan. Jerman yang tidak mempunyai kekuatan militer memadahi hanya mampu melindungi sebagian kecil fasilitas vital negaranya. Sedangkan pengamanan lain diserahkan kepada tukang pukul seperti SA dan RFB. Namun di sini menariknya, kadang masalah keamanan justru ditimbulkan dari kericuhan para-militer itu sendiri. SA berseteru dengan RFP atau sebaliknya. Seteru ini seperti bentrok Bonek vs Viking, semakin lama semakin seru dan semakin luas. Semakin ramai pemberitaan, semakin ramai pula yang bergabung dengan salah satu dari para-militer itu. Dan semakin banyak yang bergabung, semakin luas pula keanggotaan partai induk mereka.
Kaum pemuda Jerman di tahun 1920an – 1930an merasa mereka melewatkan masa perjuangan yang dialami oleh ayah-ayah mereka selama Perang Dunia 1. Dan kesempatan itu mereka temukan di paramiliter seperti SA dan RFB. Di sana, mereka dikumpulkan untuk di indoktrinasi dengan gaya militer. Wajar saja karena beberapa instruktur mereka adalah eks-militer yang mengabdi di reichwehr selama Perang Dunia 1. Banyak dari anggota paramiliter muda itu yang nantinya akan membangun Wehrmacht dan menjadi motor kesuksesan NAZI menguasai Eropa di babakan awal Perang Dunia 2.
SA memang nanti kemudian bubar dan digantikan perannya oleh SS. SS sendiri yang berawal dari personal body-guard Hitler nantinya membentuk satuan militer sendiri yang bernama waffen-SS. Tidak seperti kebanyakan pendapat orang, Waffen-SS awalnya tidak dibentuk untuk menjadi satuan elit. Namun seiring berjalannya waktu, beberapa divisi seperti Wiking menjadi ujung tombak pasukan Jerman. Membuat garis pembatas antara Wehrmacht dan Waffen-SS menjadi kabur. Waffen-SS sering di integrasikan dalam tubuh Wehrmacht di satuan Korps atau Korps Tentara. Bahkan terkadang dalam satuan-satuan kecil seperti Kampfgruppen.
Ok, kembali ke Jerman di periode 1930-an dan kembali kepada pertanyaan, mengapa Jerman dengan literasi (salah satu) yang terbaik di Eropa dapat jatuh ke tangan ditaktor sayap kanan yang mungkin salah satu juga yang terburuk sepanjang sejarah?
Jawabannya barangkali kembali kepada suasana geopolitik kala itu. Perpaduan antara keterpurukan ekonomi, semangat nasionalisme yang menggebu, dan kekalahan di Perang Dunia 1 menjadi sumber bara api yang mudah sekali dibakar. Hal ini mirip dengan jaman feudal, ketika negara tidak mampu melindungi penduduknya maka akan muncul penguasa-penguasa kecil yang menggantikannya. Dalam hal ini, penggantinya adalah partai. Partai, seperti lord jaman feudal dulu, akan mencoba menggapai kekuasaan tertinggi, dan suatu saat dapat menggantikan fungsi dari negara itu. NAZI dan Jerman di tahun 1933 berasimilasi. Menjadikan negara sebagai partai dan partai sebagai negara.