Sebentar lagi, Indonesia akan kembali memilih pemimpin baru. Beberapa nama kandidat sudah bertebaran dan prediksi sudah dijalankan. Pemimpin yang baru ini nantinya akan mengarahkan dua ratus juta lebih manusia Indonesia yang multi kultur, multi agama, multi keyakinan, dan multi pandangan. Barangkali, tidak ada negara manapun di dunia ini yang mempunyai tingkat kompleksitas sosial sebesar dan sedalam negera kita. Menyatukan masyarakat yang kompleks tersebut adalah tugas yang begitu sulit. Tugas yang belum pernah sepenuhnya berhasil dilaksanakan oleh Presiden-Presiden Indonesia sebelumnya. Meskipun mereka adalah Sukarno maupun Suharto.
Menjadi Presiden di negara seperti tempat kita tinggal tidak hanya membutuhkan kecerdasan lebih saja. Tidak juga seseorang yang mempunyai kemauan yang kuat ataupun kerja keras yang maksimal. Tidak juga dengan kombinasi ketiga-tiganya.
Masyarakat negara kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya cerdas, mempunyai kemauan dan pekerja keras, namun juga pemimpin yang dapat menjadi sosok ‘Bapak’. Indonesia adalah bangsa yang relatif baru terbentuk setelah negara ini merdeka. Sebelumnya, kita tidak pernah sadar bahwa kita bisa menyatukan kekuatan kita, kecuali segelintir kelompok-kelompok pergerakan nasional yang di kemudian hari menjadi bibit bagi pendirian bangsa.
Sosok seorang pemimpin yang berwatak kebapakan, orang yang mampu memberikan contoh, bukan orang yang mampu memerintah saja adalah sosok yang begitu ideal bagi bangsa Indonesia ini. Mengapa? Karena kebanyakan dari bangsa ini masih belum tahu arah dan tujuan bersama sebagai sebuah bangsa.
Banyak yang diantara kita masih terkotak-kotak dalam anggapan suku dan adat. Kita masih mengganggap bahwa diri kita Sunda, Jawa, Batak ataupun suku dan adat lainnya. Bukan berarti identitas itu musti dihilangkan, tidak juga kita merubahnya menjadi identitas tunggal yang baru. Namun kita harus tahu, dimana kita bicara dalam ranah bangsa dan dimana ranah kelompok. Dan disanalah letak dari kelemahan kita sebagai bangsa.
Masyarakat kita masih balita, atau anggaplah (dengan cara yang agak kasar) kekanak-kanakan. Sudah lebih dari setengah abad kita merdeka, namun kita masih belum genah tentang definisi apa itu bangsa Indonesia. Pemikiran kita masih jauh dari kata bersatu, apalagi ketika kita memasuki masa demokrasi yang tak tentu. Bukan berarti demokrasi yang salah, karena sebenarnya tidak ada faham ideologi yang salah, manusianyalah yang seharusnya patut dipersalahkan atas kegagalan sebuah sistem. Bukan sistem itu sendiri.
Terkadang pula, kita mempunyai harapan yang terlalu besar terhadap sosok presiden yang akan terpilih. Harapan yang terkadang sangat tidak realistis. Sebuah bangsa tidak akan maju dari terpilihnya seorang pemimpin, memang pemimpin adalah sebuah katalisator. Namun jika penduduknya belum mempunyai kesiapan, maka seorang pemimpin yang hebat tidak akan mampu merubah apapun dari sebuah bangsa yang pasif. Dan lihat saja masyarakat kita sekarang ini? Apakah kita sudah siap?
Mental seorang pemimpin haruslah juga dimiliki oleh sebuah bangsa. Katakanlah tidak semua orang harus mempunyai mental yang sama, namun setidaknya beberapa kelompok orangpun sudah lebih dari cukup. Dari segelintir orang yang mempunyai mental kepemimpinan yang baik itulah akan lahir generasi-generasi pemimpin bangsa yang baru. Dan untuk masa sekarang, mereka akan menjadi pengantar bagi kemajuan dan kemakmuran. Sinergi dari pemimpin dan bangsa yang ia pimpin itu mutlak, jika tidak, maka hanya akan ada sebuah kemajuan semu.
Oleh: Anindita Saktiaji